(41) Serangan Tak Dikenal

Start from the beginning
                                    

"Andin, bolehkah aku berpendapat?" Tanya Aldebaran, lembut. Andin menatapnya teduh, dan memberikan sebuah anggukan.

"Saya mengerti perasaan kamu. Dikhianati, dikecewakan, dan dilukai oleh orang yang sangat kita cintai itu sangat menyakitkan. Tapi saya percaya, pada setiap rasa sakit, setiap rasa kecewa, Tuhan pasti memberikan pelajaran kepada kita untuk bisa melihat sisi lain yang lebih baik." Ucap Aldebaran, menatap lekat kekasihnya.

"Sebagai manusia, kita bisa merencanakan apa saja yang kita mau. Tapi keputusan takdir, Tuhan yang menentukan. Ada banyak sekali rencana manusia yang tidak serupa dengan jalan yang Tuhan beri. Merasa kecewa? Wajar. Sedih? Silahkan. Tapi jangan terlalu larut. Kita tidak pernah tahu berapa banyak jalan keluar menuju kebahagiaan yang ada di depan sana kalau kita hanya diam di tempat sambil terus melihat kelamnya masa lalu." Terang Aldebaran membuat Andin diam tercenung.

"Memaafkan adalah salah satu cara untuk kita mengalahkan ego dan membuat semuanya jadi lebih baik." Lanjut Aldebaran.

"Aku sudah memaafkannya, Mas." Sahut Andin membuat Aldebaran tertegun.

"Tapi tidak untuk menerimanya kembali." Timpalnya kemudian.

"Aku harap kamu mengerti maksudku dan bisa paham perasaanku mengenai hal ini. Aku tahu semua orang bisa berubah dan memiliki hak untuk mengambil kesempatan memperbaiki masa lalunya, tapi aku juga punya hak untuk menentukan kebahagiaanku. Untuk saat ini, aku sudah merasa cukup dengan adanya Baskara dan mama. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun untuk datang dan mengacaukan semuanya lagi."

"Kamu yakin, kamu bahagia dengan pilihan itu?" Tanya Aldebaran, menatap lekat dengan rasa ragu. Andin terdiam membalas tatapan kekasihnya. Andin tahu dari tatapan Aldebaran bahwa pria itu merasa ragu dengan keputusannya, tetapi Andin harus bisa meyakinkan kekasihnya bahwa ia benar-benar bahagia dengan pilihannya.

"Iya." Jawab Andin, tegas.

Keduanya kemudian sama-sama terdiam, menatap kosong pada pemandangan pagi di hadapan mereka, sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam-diam Andin melirik wajah samping pria itu dengan pandangan sendu. Andin tahu, pria itu begitu baik. Aldebaran adalah salah satu lelaki paling tulus yang bisa Andin rasakan. Semakin ia menyadari kebaikan kekasihnya, semakin Andin merasa bersalah karena terus menggantung hubungan mereka. Semakin Andin merasakan ketulusannya, semakin Andin merasa jauh untuk menggapainya karena sifat keras kepala yang Andin miliki.

"Mas..." Panggil Andin.

"Hem?" Aldebaran menoleh.

"Aku minta maaf, ya."

"Kenapa minta maaf?" Aldebaran menatapnya, bingung.

"Aku masih menggantung hubungan kita. Aku masih belum bisa memberikan kepastian atas lamaran kamu." Jawab Andin membuat Aldebaran mengangguk, paham.

"Kenapa, Andin? Kamu masih ragu dengan saya?" Andin menghela nafasnya, kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

"Entahlah, Mas. Banyak hal yang aku cemaskan saat berpikir tentang pernikahan. Aku takut kecewa dan dikecewakan lagi. Aku takut disakiti dan menyakiti lagi. Aku takut dikhianati. Latar belakang keluarga kami yang hancur membuat aku cemas dan pesimis dengan langkah yang akan aku jalani terkait pernikahan. Aku juga tidak benar-benar mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku bingung." Andin menumpahkan perasaan yang selama ini mengganggunya.

"Apa kamu berpikir saya akan mengkhianati kamu?" Tanya Aldebaran, sontak membuat Andin menggelengkan kepalanya.

"Nggak, Mas. Aku tidak bermaksud seperti itu." Andin tidak mau Aldebaran salah pemahaman. Namun sesaat kemudian, Aldebaran mengambil satu tangan Andin dan menggenggamnya dengan erat.

Forever AfterWhere stories live. Discover now