🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁

Start from the beginning
                                    

"Gak ada gravitasi, dong?" lontar Radit.

"Gravitasi juga dari mesin yang memanasi inti planet," tambah Maza.

Saga menyeletuk. "Planet mesin berarti, ya?"

"Jangan bilang kalau orang tua Uta juga mesin," kata Lofi yang langsung membuatku menatap tajam padanya. Beneran, deh, orang ini butuh penyaring mulut biar gak asal ngomong.

"Lofi," tegur Kakak.

Maza langsung menjabarkan seolah itu memang kewajibannya. "Beberapa tahun terakhir, planet kami tidak lagi bergantung pada rahim manusia karena sudah bisa mengembangkan calon penghuni baru di dalam sebuah 'telur peranakan'."

Kami terdiam syok selagi Lofi berkata dengan puas. "Tuh, kan!"

"T-tapi bagaimana mengembangkan manusia dalam mesin?" tanya Kak Amma yang juga terlihat syok.

Maza menuturkan sesuatu tentang DNA, lalu mendadak Kak Amma bangkit dari duduk dan tangannya menutup telingaku, sementara Saga, Radit dan Lofi terlihat menunjukkan entah raut jijik, geli atau syok—mungkin ketiganya.

Saat mengerjap, aku mendapati diriku berada di tempat lain yang gelap dan dingin. Telapak tanganku yang menapak ke dasar meraba tanah yang tidak begitu kering. Lalu, punggungku bersandar pada sesuatu yang keras dan kasar, kemungkinan besar pohon.

Suara-suara di sekitar memberiku petunjuk kalau saat ini aku—atau Niida—berada di tengah hutan di malam hari.

Tubuh yang kutempati saat ini merasa lemah dan lapar. Aku merasa berada diambang hidup dan tiada. Di tambah perasaan sakit yang menyelubungi paru-paru. Perasaan kecewa, sedih dan kesepian.

Ketika manik ini bergeser melihat lengan, aku lihat ada bahan kain yang robek terikat di pergelangan, memanjang ke atas yang kuyakini ujungnya terikat ke batang pohon. Pergelangan tangan Niida lecet oleh gesekan bahan kain, bahkan sampai kulitnya menjadi keunguan.

Kenapa ... Niida bisa begini?

Saat kuberkedip lagi, memori itu selesai dan aku kembali melihat Saga dan yang lain. Aku berusaha menarik tangan Kakak, tapi dia menggeleng cepat dan tampak panik. Kakak menjauhkan tangannya dari telingaku ketika Maza bilang, "jadi tidak heran kalau manusia di planet kami tidak begitu banyak dan saling menyerupai."

Aku bertanya ke Saga. "Emang tadi Maza bilang apaan?"

"Errr, resep masakan," timpal Saga yang diiyakan Radit, sementara Lofi mengakak.

"Beneran, Kak?" tanyaku tidak yakin.

"Yaaa, gitu, deh ...."

Mereka bohong. Instingku yakin sekali.

Satu masalah yang bertambah selain perihal kemampuanku adalah memori asing ini. Memori itu datang semaunya dan menunjukkan ingatan yang tidak jelas garis waktunya, tidak jelas juga maksudnya.

Aku pernah mendapatkan visi memori ketika sedang memotong sayuran—dan inilah penyebab jariku terluka dua hari lalu, di tengah obrolan, bahkan ketika mandi—memori itu mengganggu privasiku sampai ke level terdalam.

Yang tadi siang itu apa?

Memori itu ... hendak menyampaikan apa?

Sudah begitu, tidak ada orang yang bisa kutanyai tentang fenomena ini. Hanya ada seseorang dan itu Karma.

Uh, aku sangat tidak mau bertemu dengannya setelah apa yang dia lakukan.

Aku melirik keluar jendela kamar, mendapati rumah Saga yang sepi di seberang. Rumahnya penuh tanaman dan beberapa bunga yang nyaris menutupi dinding, atap bahkan pagar birai. Lampu listrik sederhana terpasang di luar, tidak begitu membantu dalam menerangi karena sinarnya yang redup. Jarak antara rumah kami terpisah cukup jauh berhubung ada jembatan yang terpasang di depan rumah.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now