🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁

Start from the beginning
                                    

"Benar. Namun, sebelum kita pergi, aku ingin tau soal sistem air bersih di setiap rumah. Sejak kemarin, aku lihat ada pipa bambu dari atas, terpasang ke rumah, lalu ada pipa berbeda dari rumah yang menuju ke bawah. Pipa airnya yang mana?" tanya Maza.

Aku mengerjap. Bukannya pipa air yang dari bawah?

Lofi, selaku penduduk asli Nascombe mulai memberi penjelasan lengkap. "Dari atas. Kalau kamu naik ke bangunan di tingkat empat—ngomong-ngomong, kamu tidak boleh ke sana, ya—, kamu bakal liat banyak tanaman rambat yang terpilin satu sama lain di antara cabang-cabang di puncak pohon, membentuk topi kerucut yang mulutnya terbuka ke atas, dan ujungnya menyatu dengan batang pohon utama.

"Di dalamnya, tersusunlah dari atas ke bawah; batu bata, batu sungai sebesar genggaman tangan, serabut kelapa, dan arang kayu. Lalu yang paling bawah kain penyaring. Ujung bambu menembus lilitan tanaman rambat sampai ke bawah kain penyaring, air hujan yang sudah bersih dari dedaunan dan ranting pun mengalir ke tempat yang ada di bawahnya."

Di kepalaku, terbayanglah gambaran topi petani yang dibalikkan, berisi kerikil, pasir dan kain diisi air bertanah. Ujung runcing topi tersambung ke mulut botol minuman dan air bersih keluar dari sana. Aaah, kalau itu, sih, aku pernah mempelajarinya pas SMP.

"Terus, pipa dari setiap bangunan yang mengarah ke bawah itu pipa pembuangannya," tambah Lofi.

Aku mengangguk-angguk. "Kalau tidak hujan selama berbulan-bulan bagaimana?"

"Tidak mungkin. Itu tidak pernah terjadi di sini."

"Eh?" kagetku dan Saga langsung melotot ke Lofi.

"Kalau banjir?" tanya Saga.

"Banjir ... kami pernah kebanjiran, tapi tidak pernah sampai melewati mata kaki dan segera surut. Kok, kalian syok begitu?" heran si laki-laki pendek.

Saga dan aku bertukar tatap, tapi segera kami memaklumi itu karena satu dua hal yang sangat berbeda dengan tempat kami tinggal sebelumnya. Tentu saja, ya. Ini, kan, planet lain. Kenapa aku malah merasa masih tinggal di Bumi?

"Astaga, sudah mau sebulan aku di sini," keluhku.

"Memangnya kamu datang dari planet mana, Athyana?" tanya Maza.

Aku masih tidak mau menjawab, jadi Radit mewakili. "Bumi. Kamu tau?"

Maza terdiam sejenak, lalu dia bilang, "E-08, ya?"

Kami semua tidak bisa tidak menatap bingung robot pemuda itu. 'E' apa yang dia bilang?

"Y-ya ... itu. Dari pada di sini terus, kita tanya-jawab sambil jalan-jalan aja," kata Radit dan kami pun setuju.

Aku juga masih tidak begitu mengenal Nascombe, jadi ini kesempatan bagus untuk memperdalam ilmu hidup di sini. Toh, aku dan keluargaku tidak ada rencana untuk mencari tempat tinggal lain.

Keluarga ras Ganjil yang lain juga tampak sudah berbaur secara natural dengan masyarakat Nascombe. Kedua orang tua Taro kini ikut serta dalam perkumpulan pengurus satwa di Nascombe untuk mencari nafkah. Tak heran, mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan spesifik di bidang itu.

Om Jo yang masih menganggur bertugas menjaga Taro dan melakukan beberapa kerja serabutan di sekitar. Salah satu contohnya adalah menjadi tukang antar es.

Ya. Es.

Min, pemuda ras Ganjil yang dingin itu membuka toko minuman dingin seperti es serut, es sirop dan juga menjual potongan buah beku yang dilumuri gula merah cair—mengingat buah beku manis itu membuat mulutku berdecap lapar. Kak Min dibantu berjualan bersama pasangan suami-istri ras ganjil yang tidak berkemampuan dan sesekali dibantu Radit dan Om Jo ketika pelanggan membludak—Radit bilang itu terjadi hampir setiap hari.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now