"Semuanya baik-baik saja," tukas Cetta dengan tegas. "Petir tadi mungkin pengingat mau hujan. Mungkin maksud lo itu."

"Mungkin." Nawasena menjawab apa adanya. "Gue harap semoga itu memang benar."

Demi mengalihkan pembicaraan. Cetta pun mengajak Nawasena berkeliling dan mencicipi setiap jajanan yang dijual para pedagang kaki lima. Lima belas menit sebelum tengah malam, perasaan Nawasena semakin tidak enak.

Dia tidak bisa membicarakan ini bersama Cetta. Sahabatnya itu tidak akan suka. Oleh sebab itu, Nawasena hanya menyimpan semuanya di dalam hati.

Sepuluh menit sebelum tahun berganti. Nawasena benar-benar gelisah, dia menatap cemas ke arah langit dan sekitar. Bersikap tetap tenang di depan Cetta juga tidak mudah. Lima menit sebelum pergantian tahun, orang-orang mulai bersorak. Kembang api perlahan pecah di langit. Bukan jenis kembang api yang fantasis, namun cukup sebagai pembuka.

"Cetta, ayo pergi." Nawasena menarik tangan Cetta tanpa menunggu jawaban pria itu. Ada sesuatu yang mengerakkan perasaan Nawasena.

"Lo kenapa sih, Naw? Jangan bilang perasaan itu masih—"

Kalimat Cetta tidak tuntas. Tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba bergetar dan bergerak. Guncanganya cukup keras. Orang-orang mulai berteriak, motor-motor yang terpakir di sisi jalan mulai roboh dan saling menindih. Lampu-lampu pun meredup dan berkedip-kedip.

Nawasena dan Cetta saling merangkul satu sama lain. Mata Nawasena terbelalak, aspal di kaki mereka mulai terbelah dan retak.

"Berdiri!" Nawasena menarik cepat tangan Cetta untuk menghindar. Retakan tersebut melewati mereka di detik-detik terakhir. Membuat celah yang cukup lebar. Saluran air bawah tanah di ujung jalan pun bocor. Airnya keluar mirip air mancur dan membasahi sekitar.

Kepanikan belum selesai. Sekarang deretan rumah-rumah mulai kehilangan penyangganya. Satu persatu mulai rubuh di atas tanah. Aliran listrik dari kabel-kabel pun menunjukkan percikan api.

Nawasena segera menarik tangan Cetta. Keduanya berlari di tengah suasana yang masih gempa.

"Naw," ucap Cetta di sela napas yang tersenggal-senggal.

Tetapi Nawasena sama sekali tidak ingin berhenti. Pikirannya hanya satu, mereka harus pergi dari bundaran HI secepat mungkin. Namun sialnya, bukan hanya Nawasena yang berpikiran seperti itu. Beberapa orang turut melakukan hal yang sama. Hingga lama kelamaan, semua orang pun mulai saling dorong mendorong. Panik akan guncangan gempa yang tidak berhenti.

Wajah Cetta panik, dia dan Nawasena mulai terhimpit. Sulit untuk menghindar dan mempertahankan posisi tubuh dengan pijakan tanah yang tidak stabil. Kepala Cetta pun mulai terasa pening.

"Bertahanlah!" Suara Nawasena menyetakkan Cetta. Perlahan, tanah mulai tenang. Tetapi kepanikan belum usai. Orang-orang masih histeris dan terus berlari. Hingga tanpa sengaja, genggaman tangan Cetta dan Nawasena terlepas. Tubuh mereka didesak oleh puluhan orang.

Nyaris hampir terinjak dan kesulitan bernapas. Nawasena berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dia mengangkat wajah ke atas dan menggunakan kedua tangannya tuk melindungi kepala.

Lama, Nawasena terdorong oleh arus manusia yang saling berdesakkan. Hingga akhirnya, Nawasena melihat sebuah celah dan berlari menyelinap. Itu adalah sebuah lorong kecil di antara dua bangunan yang masih kokoh berdiri. Walaupun gelap, setidaknya Nawasena bisa menarik napas lega.

"Ini buruk." Nawasena melirik arloji di tangan kanan. Jarum panjang sudah berada di angka lima. Pesta tahun baru yang berakhir suram.

"Begitu ya?"

Nawasena tersentak. Bulu kuduknya berdiri. Ia mematung, menatap seorang bocah laki-laki yang sedang berjongkok tak jauh di dalam lorong.

Walau samar, Nawasena bisa mengenali siluet tersebut.

"Dek?" sapa Nawasena ramah. "Lo baik-baik saja?"

Bocah tersebut malah tersenyum miring menatap Nawasena. "Loh, Kakak bisa lihat gue ya?"

Nawasena menelan saliva dengan sesak. Tubuhnya membeku. Dia kehilangan kata-kata untuk berbicara. Lalu bocah tersebut melanjutkan, "Seharusnya ... enggak ada yang bisa lihat gue."

Nawasena semakin tidak bisa berkutik. Seingatnya, dia bukan tipikal anak indigo. Walau kadang, dia memang agak peka di beberapa situasi.

"Kakak kok takut?" Bocah itu menyeringai. Kemudian berdiri, tepat saat itu terjadi. Jeritan histeris terdengar dari luar lorong. Jeritan tersebut tidak hanya sekali, namun saling bersahut-sahutan. Seolah malaikat kematian telah turun ke muka bumi.

Nawasena tidak mempercayai apa yang ia lihat saat ini. Ada seekor makhluk mirip kelelawar dengan warna bulu yang kelabu, dan cakar tajam di bagian lengan. Nawasena nyaris tidak berkedip, mata makhluk itu besar dan ia berkepala seperti monyet.

Sebuah jeritan kembali menyadarkan Nawasena. Makhluk-makhluk itu tengah terbang dan sibuk menggigit dan melukai setiap orang yang berlari di bawahnya.

"Jangan dilihat." Bocah misterius tadi menarik lengan Nawasena semakin ke dalam lorong. "Mereka Ahool."

__/__/___/___
Tbc

The Heroes Bhayangkara Where stories live. Discover now