4. "Limited edition."

4.9K 1.3K 343
                                    

Btw temen-temen,
Cil itu jangan dibaca cil bocil ya, tapi 'sil'
Jadi nama Cecilia itu bacanya se-si-li-ya.
Awas ditampar pake duit nanti.

***

Tentu saja tidak ada yang lebih dibutuhkan Cecilia saat ini, selain hingar bingar musik keras yang menghantam adrenalin dan merangsang tubuhnya untuk meloncat dan bergoyang seliar serta setidak peduli mungkin. Dentuman musik mengusir semua penat pikirannya, aliran alkohol membasuh semua kesedihannya.

Hei ... siapa bilang ia sedih?

Justru saat ini di dance floor Artwo yang sangat padat, tidak ada yang lebih berkilau daripada Cecilia Darwin.

Senyumannya merekah lebar, tubuh moleknya meliuk indah, rambutnya berkilau penuh pesona saat kepalanya bergoyang mengikuti irama musik, satu tangannya teracung mengayun di udara, satu tangan lagi memegang telapak tangan entah siapa yang sedang melingkar di pinggangnya.

Semua mata memandanginya, semua perhatian tertuju kepadanya. Decak kagum dan riuh-riuh pujian mengalir deras.

Cecilia sangat bahagia.

Pria yang aroma tubuhnya seperti campuran banyak alkohol itu semakin intens memeluk tubuhnya dari belakang, kemudian tubuh mereka meliuk dalam satu irama mengikuti musik yang berdentum kian liar.

Cecilia tersenyum. Sebuah pelukan. Bukankah itu yang ia rengek-rengekkan sejak tadi pagi di Minggu sialan ini? Sebuah pelukan untuk membuat perasaannya membaik. Dan sekarang ia mendapatkannya.

Begitu juga puja-puji yang semalam suntuk ini mengalun ke telinganya. Dari pria ini, maupun dari orang-orang asing dan mata-mata di sekelilingnya.

Ini sempurna. Siapa yang butuh sahabat-sahabat backstabber, atau ayah pilih kasih dan ibu narsistik, jika ia bisa mendapatkan apa saja yang ia mau? Lihat? Ini bukti bahwa Cecilia Darwin tidak pernah mengalami keterpurukan akibat ditinggalkan. Masih begitu banyak insan manusia yang berebutan untuk mencintainya.

"Lo wangi banget sih, Cil," bisik pria yang tengah memeluk liuk tubuhnya.

Oh jelas. Jangankan dugem, Cecilia bahkan menyemprot parfum sebelum berangkat tidur.

"Lo mau keluar dari sini?" bisik pria itu lagi.

Cecilia tersenyum lalu menoleh, didorongnya pria itu dengan siku, lalu berjalan sedikit sempoyongan membelah keramaian dance floor untuk kembali ke meja. Pria itu mengikutinya dari belakang, merengkuh pinggangnya seakan malam ini Cecilia sudah pasti jadi miliknya.

"Tempat gue atau tempat lo?" bisiknya saat Cecilia sedang berusaha menekan rasa mual yang melanda dadanya.

Cecilia duduk di kursinya sambil melenguh kesakitan. 90% otaknya saat ini sudah dikerubungi alkohol. Ia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas jari-jari tangannya.

"Cil?" tanya pria itu lagi. "Tempat gue atau tempat lo?"

"Gimana kalau di Tempat Pembuangan Akhir dan elo pergi sendiri? Jangan ganggu gue."

"Masa sih?" Pria itu terkekeh. "Tadi kita dance bareng loh."

"Bukan berarti gue mau tidur bareng elo, Aldo."

"Nama gue Robby."

"Right," Cecilia mengangguk dengan kekehan teler. "Ronald."

'Ramon' malah tertawa.

Di saat bersamaan, benda pipih di sebelah gelas martini Cecilia mengeluarkan sinar menyilaukan. Tanpa repot-repot mengambil ponsel itu, Cecilia membaca sekilas notifikasi pesan yang muncul di layar.

xoxo, i hate you.Where stories live. Discover now