"Aku mau ke Bi Endang dulu." Andin memilih berlalu, meninggalkan Aldebaran yang masih berdiri di tempatnya.

Dalam diamnya, Aldebaran menatap nanar pada deretan foto lawas yang menyimpan banyak kenangan di hidup Aldebaran. Dari hal yang membahagiakan hingga menyedihkan ada di antara deretan foto itu. Namun kenangan di masa lalunya itu sudah membuatnya tetap hidup menjadi Aldebaran yang seperti saat ini. Aldebaran yang telah melampaui kepingan-kepingan memori pahit atas peristiwa yang kadangkala masih menghantuinya.


Tak ada sore dan udara menjadi segar

Tak ada gelap lalu mata enggan menatap

Tak ada bintang mati butiran pasir terabng ke langit

Tak ada fajar hanya remang malam

Semua tlah hilang terserah matahari

(Payung Teduh – Rahasia)

_________________________________

Pikiran Aldebaran melayang. Ia rasa sedang berada pada garis Tuhan yang tak pernah ia sangka. Bertemu wanita yang ternyata sudah mampu merengkuh separuh dari kehidupannya, sesuatu yang ia pikir mustahil, tapi kini nyata adanya. Selain mengambil separuh hidupnya dan seluruh perasaannya saat ini, wanita itu juga telah menumbuhkan sebuah ketakutan yang amat besar bagi seorang Aldebaran. Rasa takut akan kehilangan.

Sejak kejadian beberapa saat yang lalu, pria itu merasakan perubahan sikap Andin padanya. Saat di meja makan bersama Oma Diana sore tadi hingga mereka berpamitan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Bahkan sampai kini, saat mereka telah memasuki kawasan Jakarta. Suasana dingin malam sehabis hujan kota Jakarta itu tak mampu mengalahkan kebekuan di antara keduanya. Sesekali Aldebaran bertanya, berbasa-basi, namun Andin hanya memberikan respon seadanya.

"Kamu belum makan." Ujar Aldebaran, sambil sesekali terfokus pada jalanan padat di depan mereka.

"Saat di rumah Oma tadi juga saya lihat kamu hanya makan sedikit."

"Kita mampir beli makan dulu, ya."

"Aku nggak laper." Jawab Andin, akhirnya memberikan sahutan.

"Kalau Mas mau beli makan, beli buat kamu saja, Mas." Lanjutnya membuat Aldebaran terdiam memperhatikan wajah gadis itu yang terlihat sedikit berbeda.

"Muka kamu pucat. Makan, ya? Kamu mau apa, biar saya belikan." Ujar Aldebaran, cemas. Andin menghela nafasnya.

"Aku mau pulang. Aku capek." Jawab Andin dengan sedikit penekanan. Aldebaran mengangguk pasrah.

"Ya, kita langsung pulang."

Setelah perdebatan kecil itu, tak ada lagi pembicaraan yang keluar dari keduanya. Hingga mobil itu berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar putih yang tak lain adalah kediaman Andin. Hanya mengucapkan terima kasih, Andin lantas bergegas membuka pintu mobil tersebut dan keluar, tanpa menunggu jawaban dari Aldebaran yang hanya bisa termangu pasrah dengan sikap dingin gadis itu.

Tatapan pria itu terus mengiringi punggung Andin yang kian menjauh dari jangkauan matanya. Andin sama sekali tidak menoleh dan seolah tak ingin tahu apakah Aldebaran masih disana atau tidak. Andin terus melangkah hingga memasuki pintu rumahnya, lalu tubuhnya sirna dari pandangan Aldebaran.

"Saya memang pengecut, Ndin." Gumam Aldebaran, masih memandangi daun pintu rumah itu dari balik kaca mobilnya.

Harum mawar membunuh bulan

Rahasia tetap diam tak terucap

Untuk itu semua aku mencarimu

Barikan tanganmu jabat jemariku

Forever Afterजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें