🖥️🎨

709 144 3
                                    

Jari tangannya berhenti memetik gitar saat telinganya menangkap suara yang familiar.

"Duluan ya bang, kasian temen gue nunggu."

Itu suara Tuktuk, adik temannya. Gofar. Ia bahkan tidak sadar kapan datangnya Tuktuk, sebab sibuk dengan lamunannya.

"Eh tunggu deh. Gue kayak familiar sama lo." Gofar bangkit dari duduknya.

"Lo Piko itu bukan? Piko Subiakto?"

DEG

Ucup mengalihkan tatapan matanya. Tangannya menggenggam erat ujung gitar. Menatap seorang pria berkacamata dengan rambut yang diikat. Menyisakan poni yang menjuntai disisi wajahnya.

"Iya bener lo Piko! Dari SMA Pemuda kan ya?"

"Lo inget gak sih Cup?"

Ucup diam tidak menjawab. Ingin rasanya ia membungkam mulut kawannya itu.

"Beda banget. Rambut lo sekarang gondrong gini. Pake kacamata pula. Makin cakep." Gofar terlihat antusias.

"Iya kak, dulu pernah sekolah disana, terus pindah."

Sekali lagi Ucup melirik. Matanya menangkap tangan kecil itu bertaut gugup. Telinganya juga menangkap suara lembut itu sedikit bergetar.

"Maaf."

Lalu Ucup kembali tersadar dengan perkataan Piko. Alisnya mengerut bingung. Pindah? Piko pindah sekolah? Kenapa? Batinnya bergumul.

Karena setelah ia lulus, Ucup sudah tidak pernah lagi mau tahu tentang sekolahnya. Ia memilih untuk lari. Menjalani hidupnya yang tidak pernah sama lagi.

Mata mereka sempat bertemu, sebelum yang lebih muda membuang wajahnya dan menyisakan cubitan diujung hatinya. Ucup menatap nanar punggung yang semakin kecil menjauh.

Bisakah ia meraihnya lagi? Entah.

Pertemuan pertama mereka adalah di ruang kesehatan. Tidak menyangka waktunya telah tiba. Tentu saja Ucup ingat. Tawanya terdengar getir.

Ucup tidak lupa. Tidak.

Ia hanya belum siap untuk menatap mata itu. Ia masih belum siap melihat luka disana. Luka yang ia torehkan. Luka yang Ucup sendiri tidak tahu bisa sembuh atau tidak.

Atau memang ia tidak akan pernah siap? Mungkin.

Bersembunyi adalah keahliannya. Bukan maksudnya untuk lari. Bukan. Walaupun memang adanya seperti itu. Ucup lari. Sembunyi. Pengecut.

Lisannya kelu. Sesak di hatinya membuat kepalanya pening. Harusnya ia bersujud di kaki pemuda itu saat pertama kali bertemu tatap. Harusnya ia meraung meminta ampunan. Tetapi tidak, Ucup masihlah Yusuf Hamdan yang pengecut.

Cukup terkejut saat melihat pemuda itu terlihat biasa saja. Atau Ucup saja yang tidak tahu, sebaik apa Piko menyimpan rasanya.

Mungkin terlihat tidak tahu diri, tapi ia senang melihat Piko baik-baik saja. Walaupun kenyataannya tidak. Benar kata Gofar, Piko terlihat jauh berbeda. Wajah kekanakannya berubah menjadi lebih dewasa. Cantik.

Sedikit lega mengetahui Piko kuliah di kampus yang sama dengannya. Setidaknya Ucup masih bisa bertemu dan mungkin masih ada kesempatan untuknya. Ia masih mengharapkan akhir yang baik.

Masih ada kan? Semoga.

+++

Episode | Cupiko/Hackforger [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें