Chapter 1 - Nice To See You

73 19 5
                                    

"Nanti malam aku nggak pulang. Mau ke luar kota." Bagas memakai kembali celana boxer-nya setelah mendorongku ke tempat tidur. Pagi ini dia kembali meminta jatah, padahal semalaman sudah memaksaku melayani dengan berbagai gaya. Apa dia peduli pada tubuhku yang letih dan butuh istirahat? Apa dia mau mengerti keinginanku untuk dipuaskan juga? 

Nope. Tidak pernah! Aku pun tidak pernah meminta, apalagi memaksa.

Aku benar-benar harus puas saat dianggap tidak lebih dari manekin hidup. Diam saja saat diperlakukan semaunya. Di ranjang, aku hanya sebagai pemuas birahi. Bila dibawa ke pesta atau bertemu kolega, aku bagaikan boneka cantik untuk dipamerkan ke mana-mana. Lambang prestise seorang auditor sukses yang bisa membeli apa saja sesuka hatinya. 

"Sampai kapan, Mas?" Aku beranjak dan membetulkan lingerie yang menutup asal di tubuh. 

Bagas mengerutkan dahi, menatap sejenak sebelum akhirnya menjawab,"Sejak kapan kamu harus tahu urusanku? Mau pulang dua hari, seminggu, atau sebulan lagi, buat apa aku kasih tahu kamu?" 

Bagas tertawa. 

Aku mendengkus, memalingkan muka. Sekilas terlihat bayanganku sendiri di cermin besar sebelah tempat tidur. Kantung mata menebal, lebih dari biasanya. Wajah sedikit pucat dan acak-acakan. Sama sekali bukan seperti diriku beberapa tahun lalu sebelum mengenal Bagas.   

"Jadi istri itu nggak usah terlalu kepo! Memangnya kamu mau ngapain kalau tahu kapan aku pulang, hah? Selingkuh?" Laki-laki cungkring berkulit legam dengan kaca mata tebal itu tergelak lagi.

"Memangnya ... masih ada yang mau sama pelacur macam kamu?" Dia mendekatiku yang berjongkok di tepi ranjang seraya merapikan bantal, guling, dan sprei yang berantakan. Dengan cepat dia menjambak sampai kepalaku terdongak.

"Kalau waktu itu tidak aku nikahi, kamu masih menggelandang saat ini. Aku yang sudah mengangkat derajatmu, juga ibumu. Ingat itu!" Bagas mengentakkan kepalaku. 

Aku bahkan tidak sempat menjawab apa-apa sampai dia kembali mengancam dengan kata-kata tajam. "Jadi, awas saja kalau kamu sampai berani macam-macam. Do not even think about that!"

Mengetatkan rahang, kucoba menahan saja perasaan yang bergolak di dalam dada. Aku meneguk ludah. Jemari sudah mengepal di balik selimut yang akan kulipat. Bagas masih terus tertawa mengejek hingga dia selesai mengenakan kemeja kerjanya. 

Bukan kali pertama Bagas memperlakukanku kasar begini. Namun, aku tidak punya pilihan selain menerima. Semua kata-katanya benar. Aku memang pelacur saat ketemu dia. Sebetulnya bukan pelacur jalanan. Aku lebih dikenal di kalangan terbatas sebagai teman tidur para pria kelas atas. Aku berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain, hingga diperkenalkan dengan laki-laki ini yang akhirnya berhasil kurayu agar menikahiku.  

"Siapkan sarapan! Aku berangkat sebentar lagi!" suruhnya, sambil menyeret koper kecil berisi beberapa potong pakaian keluar dari kamar.

Saking seringnya tugas ke luar kota, aku terbiasa menyiapkan perlengkapan Bagas, bahkan sebelum tahu jadwalnya. Ada dua koper yang bergantian dia bawa, besar dan kecil. Koper besar berisi lebih banyak baju untuk persiapan tugas satu hingga dua mingguan. Sedangkan yang kecil, biasanya cukup untuk beberapa hari saja.

Setelah menepuk-nepuk bantal yang sudah tersusun rapi, aku bergegas mengekornya. Tidak ada ciuman di kening atau pipi layaknya suami yang akan meninggalkan istri. Bagas berlalu begitu saja dengan mobil sport kesayangannya. Dia menyisakan sekerat roti bakar berisi selai cokelat nutella dan setengah cangkir kopi pekat manis, bekas sarapannya di meja makan.

Aku pura-pura melambai ke arah mobil Bagas. Hanya ingin menunjukkan kepada para tetangga yang kebetulan lewat bahwa kami rukun seperti pasutri pada umumnya. Entah apa yang ada di benak mereka. Yang jelas, senyuman di wajah orang-orang itu terlihat tidak tulus, kecuali satu pria.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THE ATTICWhere stories live. Discover now