"Ayah dengar Jihan habis reuni SMA."

Jevian yang tengah meneguk teh di beranda rumah bersama sang mertua pun merespon. "Iya, Yah. Bulan lalu."

"Sendirian?"

Sang menantu mengangguk. "Jihan sempat mau bawa Jevian, tapi dalam undangannya nggak tertulis harus bawa pasangan. Teman-temannya juga banyak yang datang sendiri, jadi Jevian nggak ikut karna nggak mau bikin kumpul-kumpul mereka jadi canggung."

Kekehan ringan dari bibir Jevian membuat ayah mengalihkan pandangannya dari teropong lalu menelisik ekspresi anak menantunya itu.

"Kamu nggak takut?"

"Takut kenapa Yah?"

Ayah menghela napas lalu melangkah menjauhi teropongnya. Ia ikut duduk di beranda, meraih sepotong kukis buatan ibuk. "Kamu tau Jihan punya mantan pacar waktu SMA?"

Jevian menggeleng. Tapi saat itu, ia tidak ambil pusing sebab Jevian percaya pada istrinya. Sebab menurutnya, apalah guna pernikahan tanpa rasa saling percaya. Jevian pikir bukan hanya Jihan, namun dirinya sendiri juga punya masa lalu. Tapi begitu mereka bersatu di bawah janji suci atas nama Tuhan, Jevian pikir semua yang ada di belakang memang sudah sepatutnya mereka tinggalkan di belakang. Jevian tidak pernah mengusik masa lalu Jihan. Sebab menurutnya, itu bukanlah hal yang penting untuk dilakukan.

"Kebetulan Jevian dan Jihan nggak pernah bicarain masa lalu. Menurut kita, apa yang udah ada di belakang nggak begitu penting untuk dijadikan topik pembicaraan."

"Justru masa lalu itu penting, Nak. Kamu jadi tau harus waspada sama siapa."

Jevian kembali terkekeh. "Enggak, Jihan nggak mungkin kaya gitu Yah."

Sang ayah mertua hanya mendengus melihat betapa naifnya Jevian dalam menanggapi nasihatnya.

"Jevian, hal paling terakhir yang harus kamu lakukan dalam rumah tangga adalah percaya seratus persen sama perempuan saat mereka berhubungan dengan masa lalu." Ayah mulai memberi ceramah seperti yang sudah-sudah, meski ia tau bahwa Jevian akan selalu memihak pada putrinya. "Kamu harus tetap waspada, nggak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini."

Kalimat ayah begitu mengusik perasaan Jevian setelahnya. Ia jadi mulai berperang dalam benaknya sendiri, haruskah ia mulai memata-matai istrinya karena kepercayaannya yang mulai menipis pada Jihan?

Tapi rupanya, Tuhan selalu punya cara untuk membongkar suatu kebohongan tanpa perlu Jevian repot berkonfrontasi. Sebab beberapa hari usai peringatan kematian uti, Jevian jatuh sakit. Jihan kala itu tengah menyuapinya bubur ketika bertanya,

"Kenapa sampai sakit gini sih, Mas?"

Wanita itu tampak tenang menyodorkan sesendok bubur pada Jevian yang bersandar pada kepala ranjang.

"Kemarin lusa aku kehujanan."

Jihan menaikkan kedua alisnya tidak percaya. "Tumben? Biasanya kamu nggak suka hujan-hujanan."

Jevian tidak menjawab. Dan Jihan kembali menyuapinya dalam diam. Mereka memang terbiasa seperti ini, Jihan yang sangat jarang bicara dan Jevian yang tidak ingin membuat istrinya terganggu membuat rumah tangga mereka tidak penuh dengan celotehan tidak penting. Tapi tiba-tiba, Jihan merujar dengan santai.

"Aku juga sempet kehujanan, tapi nggak sampai sakit."

"Kehujanan? Kapan?"

"Kemarin lusa."

Tampaknya, wanita itu tidak begitu sadar akan ucapannya. Jadi Jevian melanjutnya bertanya, "Oh ya? Di mana?"

"Di makam Uti."

Desiderari | Jung JaehyunOnde histórias criam vida. Descubra agora