"...hey kau menangis?" Dahi Lia berkerut. Memperhatikan wajahku yang sembab karena air mata yang kujatuhkan. Aku bahkan tak mencoba menutupinya dan membiarkan Lia melihat betapa menyedihkan aku yang hancur karena ulahnya.

"Ada apa?" Tanya Lia. Semakin mendekatiku. merendahkan tubuhnya, menjajar kepadaku yang memang terduduk dilantai dengan tubuh menyandar kearah dinding. "Ryujin ada apa?" Lia mengulangi pertanyaannya kemudian menghapus air mataku yang tak ingin berhenti. Namun aku segera menurunkan tangan Lia dan hanya tertunduk tanpa menjawab sedikitpun pertanyaannya.

Rasa marahku belum mereda dan menyuruhku untuk tetap membisu saat Lia menanyaiku.

"Ryujin..." panggilnya menyadari aku yang tak merespon.

"Aku baik-baik saja..." jawabku seadanya. Aku hanya ingin sendiri. Mencoba berdamai dengan peperangan yang sedang terjadi didalam otakku. Antara marah, kecewa namun aku juga mengganggap ini bukan sepenuhnya kesalahan Lia dan aku ingin seluruh bagian otakku menggapnya begitu.

"Kau tidak baik-baik saja Ryujin, kau menangis..." ucap Lia semakin khawatir. Terlihat dari raut wajahnya yang terus menatapku tanpa lelah.

"Tinggalkan aku sendiri..." kataku. Mulai menghapus air mata dengan punggung tanganku kasar. Tak ingin Lia berada disini bersamaku.

"Kenapa kau menyuruhku untuk meninggalkanmu? Katakan, apakah ada seseorang yang menyakitimu? siapa dia? Beritahu aku.." Tanyanya bertubi-tubi. Tak mendengarkan aku dan justru menanyakan hal lain yang mungkin terbesit dipikirannya.

Aku kembali terdiam. Menahan rasa marah yang seperti ingin sekali kuluapkan kepada Lia, namun rasa cintaku seperti tak memperbolehkan itu. Aku hanya tak ingin menyakitinya karena ucapanku yang mungkin akan terdengar kasar jika aku membuka mulut.

"Ryujin....." Lia kembali memanggil namaku. Menarik tanganku bersiap merengkuh tubuhku namun sekali lagi aku mendorongnya. Tak mengijinkan Lia melakukan itu karena rasa marahku belum juga bisa mereda.

"Berikan aku waktu, tinggalkan aku sendiri..." kataku kemudian bangkit. Mencoba menghindari Lia namun kemudian tangan Lia menahanku. Menarikku sedikit kebelakang kemudian Memeluk tubuhku dari belakang dengan pipi yang ia tempelkan dipunggungku.

Untuk beberapa saat rasanya aku seperti menguap. Rasa marah yang sebelumnya bergemuruh didalam dadaku terasa menghilang bersama isakan Lia yang ia perdengarkan dikedua telingaku.

Aku tau aku lemah, ketika aku mulai mencintai seseorang aku akan sangat memujanya. Aku bahkan tak peduli ketika dia menyakitiku berkali-kali. Selama dia tidak pergi dan masih berada disisiku. Aku akan terus memaafkannya. Hal yang sempat kulakukan pada kekasihku dulu namun kemudian dia memutuskan meninggalkan aku untuk bersama dengan lelaki pilihannya.

"Kenapa kau menangis?" Tanyaku tanpa membalikan badan untuk sekedar melihat wajah Lia.

"Kenapa kau melakukan ini?" Jawabnya dengan terisak.

"Melakukan apa?" Aku tak mengerti.

"Jangan mengabaikanku. kau tau kan aku sangat mencintaimu. Melihatmu mengabaikan aku membuat hatiku begitu sakit..." katanya menjelaskan alasannya menangis.

Kukepalkan telapak tanganku, menautkan kedua alisku mendengar Lia mengatakan hal itu. Apa yang sebenarnya dia katakan? Aku hanya menunjukkan sedikit rasa marahku karena dirinya, tapi kenapa dia mengatakan seolah-olah aku yang menyakitinya dengan mengabaikannya? Apakah aku bersalah jika marah? Salah jika aku cemburu melihatnya bercumbu dengan seseorang selain aku?

"Kau yang menyakitiku Lia...." kulepas pegangan tangan Lia diperutku. Berjalan selangkah kemudian memutar tubuhku untuk kembali melihatnya. "Kau yang menyakitiku...." ulangku dengan air mata yang kini menggenang dipelupuk mata.

LOSE (JINLIA & YEJISU)Where stories live. Discover now