Mama mengambil minum di kulkas, tapi tak menyapa Renza sama sekali. Melihat ke arah Renza pun tidak, mama hanya minum langsung pergi seolah tak ada orang di sana. Renza ingin menyapa mama tadi, tapi ia takut mama akan mengacuhkannya.

Renza membawa lauk pauk ke meja, memanggil Juan di kamar untuk makan, lalu menyiapkan piring satu per satu untuk mereka. Juan melakukan itu dengan tulus dan sangat hati-hati.

Suasana makan malam juga sama seperti biasanya, hanya ada suara piring yang beradu dengan sendok mengiringi obrolan seru Riana, Dion, dan si sulung. Renza hanya mendengarkan saja, tidak lebih.

“Arghh, aduh Ma, perut Juan sakit.” Juan meringis kesakitan.

“Kamu kenapa, sayang?” Riana mendekati Juan lalu mencicipi nasi goreng dari piring putra pertamanya.

“Kamu kasih cabai ya di nasi goreng Juan?” Tanya Riana pada Renza, membuat anak itu tersadar bahwa ia tadi lupa telah memasukkan potongan cabai saat masak nasi goreng yang Juan minta.

Renza tidak sadar melakukan itu, benar-benar tidak sadar. Renza terlalu terburu-buru sehingga reflek mengiris cabai juga ke dalam masakannya. Lambung Juan memang terlalu sensitif terhadap makanan yang mengandung capsaicin.

“KAMU SENGAJA? IYA?” Dion membentak Renza.

“Ayo bawa Juan ke rumah sakit, Yah. Cepetan, Yah. Kasihan Juan.” Riana nampak begitu khawatir.

“Awas ya kamu, tunggu Saya pulang. Jangan kemana-mana.” Ancam Dion pada Renza kemudian memapah Juan ke luar.

Renza masih menunggu kepulangan Juan dan orangtuanya. Ia begitu mencemaskan kondisi Juan, takut jika Juan sampai sakit parah. Satu jam menunggu, anak itu berdiri seketika saat melihat Dion membawa masuk Juan ke dalam kamar.

“Gimana keadaan Kakak, Ma?” Tanya Renza khawatir.

“Jangan dekat-dekat dengan Juan, kamu akan menyakitinya lagi nanti.” Ketus Riana.

Satu kalimat itu berhasil menusuk jantung Renza hingga tubuhnya mematung sesaat. Renza tak pernah sekalipun berniat untuk menyakiti juan. Ia sangat menyayangi kakaknya. Tapi kenapa hal ceroboh ini bisa terjadi.

Ayah turun dari kamar Juan mencari keberadaan Renza. Wajah ayah marah, bahkan rahangnya sudah mengeras sejak tadi.

“RENZA!” anak itu menghampiri ayahnya, masih dengan kepala yang tertunduk.

PLAK!

Dion menampar pipi anak bungsunya. Renza terkejut bukan main sampai badannya hampir terhuyung jika dia tak mampu menjaga keseimbangan. Air matanya jatuh tanpa diperintah. Sakit di pipinya merambat sampai ke hati. Ia menggenggam ujung bajunya, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tangisan.

“Saya beneran capek lihat ulah kamu. Ayo ikut Saya!” Dion menarik tangan Renza. Anak itu terlihat kesulitan menyamakan langkah lebar sang ayah.

“Ayah pelan-pelan jalan- Argh...” Renza terjatuh karena kakinya tak bisa dipaksa untuk jalan secepat itu. Dion menghela napas kasar lalu membuka pintu gudang.

“Masuk!” Perintah Dion.

“Ta-pi, Yah. Renza-“

“SAYA BILANG MASUK YA MASUK!” Dion menyeret tubuh Renza ke dalam gudang. Menghempaskannya ke tumpukan kardus dan koran bekas hingga barang-barang itu terjatuh mengenai kepala Renza.

“Kamu bereskan ini semua. Kalau besok pagi Saya cek belum selesai, maka kamu harus menginap di sini lagi.” Dion kemudian melangkahkan kaki untuk pergi. Namun, dia berbalik saat berada di ambang pintu.

“Saya sadar bahwa Saya memperlakukan kalian dengan cara yang tidak sama. Tapi, jangan pernah kamu berani untuk mencelakai Juan lagi. Ingat itu!” Ancam Dion.

BRAKK

Dion membanting pintu lalu menguncinya dari luar. Renza tak bisa melakukan apa pun selain menuruti kemauan sang ayah. Jika dia memberontak maka dia akan mendapat hukuman yang lebih berat lagi.

Sekarang dia di sini, di tempat kotor dan dingin yang sangat tidak layak untuk ditempati.Tangannya memegang kaki kiri yang terasa sakit di dalamnya. Air matanya terus keluar, hatinya sangat sedih, tapi yang membuat sedih adalah rasa bersalahnya pada Juan. Ia sudah membuat Juan sakit padahal ia tahu apa kelemahan kakaknya. Renza merutuki dirinya sendiri, memukul-mukul kepalanya.

“Bodoh, dasar bodoh.”

Renza mengamati barang-barang di sekitarnya, berantakan dan berdebu. Ia segera merapikan dan membersihkan gudang itu. Ia tak ingin di kurung di sini terlalu lama.

Hampir tiga jam Renza menyelesaikan hukuman dari sang ayah. Sesekali dirinya terbatuk karena tebalnya debu. Kini bajunya ikut kotor, badannya juga sangat tidak nyaman untuk tidur. Karena rasa lelah dan kantuknya sudah menguasai, Renza menggelar koran sebagai alas lalu tidur seadanya.

Dingin, tapi Renza masih bisa menahan. Badannya sakit, tapi Juan pasti lebih sakit. Renza masih menyalahkan dirinya sampai dia tertidur karena kelelahan.

__________________
__________________

"Maaf, karena Renza kakak jadi sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Maaf, karena Renza kakak jadi sakit."

Dear Renza [TERBIT]Where stories live. Discover now