Meskipun matanya masih mengantuk, tapi dia harus tetap segera bergegas agar tidak terlambat. Ia tidak ingin mamanya semakin marah.

Renza segera masuk ke mobil bersama Kang Mamat yang sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Jalanan cukup padat padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi.

Sekolahnya sudah terlihat kira-kira seratus meter lagi. Ia memutuskan untuk turun dan memilih berjalan karena mobil terjebak macet.

Cukup sulit berlari dengan tongkat panjangnya. Tapi dia harus bisa sampai dengan cepat, tak peduli jika harus tersandung dan terjatuh seperti sekarang. Tinggal beberapa meter lagi, ya, sedikit lagi.

TENG! TENG! TENG!

Suara tanda masuk sekolah sudah berdentang. Gerbang sudah mulai ditutup oleh dua satpam yang berjaga di sana. Renza menggoyang-goyangkan pagar, mencoba memanggil satpam.

"Tolong bukain, Pak. Saya mohon."

"Nggak bisa, Dek. Kamu udah telat. Saya bisa kena marah kalau melanggar aturan. Lebih baik kamu pulang dan besok berangkat lebih pagi lagi." Tutur pria berseragam putih-hitam itu.

"Tapi Pak, Pak!" Teriakan Renza tak membuat satpam itu menoleh. Mereka tidak bisa membantu Renza, mereka melakukan tugas dengan baik.

Renza menunduk, berjalan menuju warung di samping sekolah. Ia tidak mungkin pulang saat ini, jika ayah tahu dia bisa kena marah. Renza berusaha mencari cara untuk bisa masuk ke dalam sekolah.

Ia berjalan menuju gerbang belakang sekolah yang tidak pernah dibuka. Dengan berbagai cara Renza membuka gerbang itu tapi tetap tidak bisa. Mau memanjat pun itu juga sesuatu yang mustahil.

Matanya melihat celah kecil di samping pintu yang terhubung langsung dengan toilet dekat kantor guru.

"Sepertinya tubuhku muat, aku kan kecil." Batin bocah bermata sipit tersebut.

Ia peluk tas sekolahnya di dada, kemudian memiringkan badan. Satu kakinya sudah masuk, ia harus melangkah sedikit demi sedikit karena cukup sulit berjalan menggunakan crutch di tempat sesempit ini.

Tinggal satu meter lagi anak itu keluar dari gang kecil, namun tiba-tiba saja ia melihat ada guru yang akan melintas. Ia tidak bisa berjongkok maupun membungkukkan badan sama sekali untuk bersembunyi. Renza yakin, dirinya akan mendapat hukuman lebih berat dibandingkan hukuman tidak masuk tanpa izin.

Renza sesekali memejamkan matanya dan berharap Tuhan mengirimkan malaikat untuk membantunya. Ia berusaha meminimalisir pergerakan dan merapalkan doa agar guru itu tidak melihatnya.

Tapi disaat dia sedang tertunduk diam menunggu guru itu menegurnya, bayangan seseorang membuatnya mendongak. Ada seseorang di hadapannya dan guru itu sudah melewatinya tanpa sedikit pun mengetahui ia ada di sana.

"Hehehe." Bocah itu tersenyum lebar hingga deretan giginya yang putih terlihat.

"Haidar, terima kasih ya kamu sudah membantuku." Seru Renza dengan suara yang pelan.

"Kita kan teman, sudah sepantasnya aku membantumu. Ya meskipun aku membantu orang yang menerobos ke sekolah secara diam-diam." Ucap Haidar dengan melipat tangan di dada.

Renza menunduk, ia memang tak seharusnya melakukan ini.

"Tapi gapapa kok. Ayok aku bantu keluar. Kita ke UKS saja, nanti bilang saja kalau kamu sedang sakit. Supaya tidak dihukum." Lanjut Haidar saat melihat wajah merasa bersalah temannya.

Haidar merangkul Renza menuju UKS. Renza bersyukur ia dipertemukan oleh laki-laki ini. Baru pertama kali dia dilindungi seperti ini, bahkan hingga dibawakan tasnya.

"Dasar bocah nakal kamu, Haidar." Batin Renza terkekeh.

Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh kakaknya, melihat Haidar selalu mengingatkan pada Juan yang sikapnya berbeda 180°.

"Pulang sekolah kita latihan berjalan lagi ya. Aku sudah bilang ibu untuk membuatkan minuman yang segar biar kamu lebih semangat lagi." Tutur Haidar dengan antusias.

Renza tersenyum dan mengangguk mantap. Sekali lagi, dia bersyukur bertemu dengan Haidar.

_______________________
_______________________

"Aku menopang tubuhnya, sekaligus luka dan kekejaman semesta padanya

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

"Aku menopang tubuhnya,
sekaligus luka dan kekejaman semesta padanya."

Dear Renza [TERBIT]Where stories live. Discover now