4 - Anak Berwajah Lumpur

Start from the beginning
                                    

“Ah sudahlah nanti kamu kotor. Aku bisa naik sendiri, aku kan laki-laki.” Kemudian anak itu berusaha sekuat tenaga untuk naik. Renza mengulurkan tangannya.

“Aku bantu.” Ucap Renza. Anak itu lantas meraih tangan mungil Renza.

Renza masih tak bisa menahan tawanya. Anak laki-laki itu sangat lucu sekali dengan wajah lumpurnya.

“Sudah diamlah dan ayo ikut aku.” Anak itu menarik tangan Renza. Dia membawanya ke sebuah sungai yang tak jauh dari area persawahan.

Air yang jernih itulah yang Renza lihat pertama kali. Sungainya juga dangkal, hanya sebetisnya saja. Anak laki-laki yang baru Renza temui itu sudah menceburkan seluruh tubuhnya ke dalam sungai. Menghilangkan setiap lumpur yang menempel di tubuhnya.

Melihat Renza hanya berdiri di tepi sungai anak itu berteriak.
“Apa kamu tidak ingin mencuci tangan?!”

Renza hanya mengangguk lalu membersihkan tangannya dari lumpur. Airnya begitu dingin. Pasti akan menyegarkan sekali jika di pakai untuk mandi. Ah tapi jangan, akan berisiko untuknya yang tak bisa berdiri dengan sempurna.

Akhirnya Renza memutuskan untuk duduk di bebatuan pinggir sungai sambil sesekali tertawa melihat tingkah konyol seseorang yang membawanya kemari.

“Aku Haidar. Siapa namamu?” Teriaknya.

“Aku Renza. Fahrenza!” Suara Renza tak kalah keras. Haidar hanya mengacungkan jempol. Anak itu lantas berjalan mendekati Renza. Memeras bajunya yang basah lalu ikut duduk di batu.

“Pakaianmu bagus, kamu pasti anak di perumahan mewah itu kan?” Tanya anak berkulit sawo matang itu dan hanya dibalas anggukan oleh Renza.

“Kamu kenapa? Aku lihat sepertinya kamu sedang sedih, makanya aku berusaha menghampirimu. Ah, tapi sialnya aku malah terjatuh.” Haidar mengacak rambutnya yang basah.

Renza tergelak lagi. Anak di depannya ini sangat lucu. Dari cara bicaranya saja sudah membuat Renza ingin tertawa.

“Kamu kenapa ketawa lagi? Aku tau kalau aku memang lucu, tapi jangan terus-terusan ketawa nanti gigi kamu terbang.” Ucapan Haidar membuat Renza semakin terbahak-bahak.

“Aku tidak apa-apa kok,” balas Renza setelah berhasil meredakan tawanya.

Sudah lama sekali Renza tidak tertawa sampai terpingkal-pingkal seperti ini. Haidar berhasil membuat tawa itu kembali.

“Kalau begitu apa kamu mau ke rumahku?” Haidar beranjak dari duduknya. Belum juga Renza mengiyakan, tapi Haidar sudah memaksanya berduri dan menggandengnya pergi.

Tak ada salahnya menerima ajakkan Haidar, anak ini baik. Renza bisa menjadi temannya kalau dia mau. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Haidar menyapa setiap warga yang berpapasan dengannya. Mulai dari anak kecil, teman seumuran, orang dewasa, tukang cilok, bahkan nenek-nenek yang sedang mengunyah sirih pun ia sapa.

Haidar begitu ramah pada setiap orang. Pembawaannya yang ceria membuat siapapun tersenyum saat melihatnya. Termasuk Renza.

Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah rumah sederhana dengan satu motor tua yang diparkir di halaman rumah. Haidar membawa Renza masuk ke dalam. Renza langsung disambut oleh banyaknya piala dan piagam dari lomba pencak silat dan taekwondo dalam lemari kaca yang sudah terlihat usang.

“Duduk sini dulu, aku ambilkan minum. Air putih tidak apa-apa kan?” Renza mengangguk mantap.

“Ya ampun ada tamu. Namanya siapa? Walah gantengnya.” Seorang perempuan seusia mama keluar dari arah pintu samping.

“Pagi Tante, saya Renza. Teman barunya Haidar.” Ucap Renza sambil menyalami seseorang yang diduga adalah ibu dari Haidar.

“Walah kok tante to manggilnya.” Protes Asih.

Dear Renza [TERBIT]Where stories live. Discover now