Astray Conduction

397 28 1
                                    

[ABIGAIL]
Gadis itu duduk meringkuk di depan kulkas rumah. Memperhatikan semut-semut yang berjalan berbaris dengan rapi membawa serpihan-serpihan roti yang berasal dari atas meja makannya. Kini dia tengah merenungi kesalahannya sehingga oleh kedua orang tuanya, dia tidak diizinkan untuk ikut ke rumah nenek di kota sebelah.

Dia mulai menggumamkan kata-kata yang ia tujukan kepada semut-semut yang dominan berwarna hitam tersebut. Beberapa perintah lembut untuk berjalan ke arah kiri, kanan, berhenti sebentar, dan lain-lain. Setidaknya hal itu bisa membuat gadis albino bernama Abigail Radbert ini terkekeh.

Abigail mengerjap lalu menghembuskan nafasnya. Betapa bodohnya ia karena tidak menggunakan kemampuan devokinesis—kemampuan untuk mengendalikan makhluk hidup melalui sugesti—nya kepada orang tuanya sore tadi. Padahal dia bisa saja pergi bersama mereka. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Seberapa pun Abigail menyesal dan mengumpati kesalahannya, waktu tidak akan kembali baginya untuk sekedar memperbaiki.

Kemudian, Abigail berjalan pelan ke arah jendela dapur yang tirainya terus berkibar. Malam semakin larut, tidak salah bagi gadis ini merasakan kedinginan. Tulang-tulangnya seperti ditusuk-tusuk oleh hawa dingin. Agak menyebalkan baginya karena dia merasa malas untuk meraih tirai jendela tersebut.

Saat dia berhasil sampai di depan jendela, ada sesuatu yang mengusiknya. Suara 'kresek' dari balik semak-semak mawar tanpa duri milik ibunya. Abigail mengintip tanpa melongokan kepalanya. Penasaran, dia pun memicingkan matanya, mencoba untuk mempertajam penglihatannya.

“Siapa di sana?” Abigail bertanya setengah berteriak. Namun tidak ada jawaban.

Jadi, tanpa menutup jendela dapurnya, Abigail melangkah ke pintu dapurnya dan memutar kunci pintu tersebut. Saat dia melangkah keluar rumah, hawa dingin semakin mencengkeram kulit halusnya dan berhasil membuat giginya gemeletuk tidak karuan.

“Siapa di sana?” Abigail mencoba untuk bertanya sekali lagi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.

Merasa terpanggil untuk memarahi—lebih tepatnya memaki atau menghujat—sosok pemalu itu, Abigail melangkah lebih cepat ke arah semak mawar tersebut. Disibaknya dedaunan yang berada di sana. Sayang hasilnya nihil.

Sebuah suara terdengar dari belakang Abigail. Gadis itu terpaksa menoleh. Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang, nafasnya pun menjadi tidak karuan. Saat matanya menangkap sosok yang terlihat muram karena cahaya yang minim, Abigail mulai merasa ketakutan. Dia yakin sekarang cairan hangat sudah membasahi celananya dan turun hingga ke kakinya.

“Hei, matamu berwarna merah. Apa kau seorang vampir?”

•••

[AKASA]
Kadang Akasa berharap dunia itu hanya ada siang saja.

Karena pada malam hari, ia yang merupakan ancaman semesta karena kutukan yang membuatnya jadi pembunuh gila, tak peduli manusia,vampir,atau malaikat dan setan sekalipun akan jadi buruan oleh keempat ras itu. Keberadaannya memang harus dimusnahkan, atau hukum alam akan berantakan ditangannya.

Sebenarnya ia tak takut dengan hidup jadi buruan itu.Malah ia bersyukur kalau ia bisa mati ditangan mereka.

Tapi sayangnya, kalau berurusan dengan mereka justru malah mereka yang bakal mati ditangannya.

Di tengah pengejaran itu, ia tak punya pilihan lain selain menyusuri taman mawar di depan sebuah rumah dan memutuskan untuk bersembunyi sementara.

“Siapa di sana?”

Akasa terkejut. Ada orang yang mengetahui keberadaannya. Gawat, bisa-bisa ia ditemukan oleh orang-orang yang memburunya saat ini.

Ia tak sempat berpikir ketika seseorang menyibak dedaunan yang menyembunyikannya. Mau tak mau ia keluar dari persembunyiannya dan mendapati seorang gadis di depannya.

Astray ConductionМесто, где живут истории. Откройте их для себя