"Ya. Empat tahun lalu, berawal dari hampir semua investasi saya mengalami kolaps. Fokus saya sudah benar-benar pecah. Yang ada di pikiran saya saat itu hanyalah Andin dan Baskara. Sampai suatu ketika, saya benar-benar kehilangan semuanya. Saya kehilangan keluarga, jabatan, dan seluruh investasi saya jatuh. Saya tahu, itu semua adalah hukuman atas dosa-dosa saya." Ferdinand kembali memulai ceritanya.

"Pak Frans kemudian mengenalkan saya dengan seorang pengusaha minyak yang telah menetap lama di Malaysia. Dia seorang single parent yang sudah lama ditinggal mati oleh suaminya. Dia memiliki seorang putra yang kira-kira seumuran sama kamu. Awalnya saya hanya bekerja disana sambil kembali memulai investasi. Tapi seiring berjalannya waktu, kami memiliki ketertarikan satu sama lain. Akhirnya, kami berdua menikah sampai sekarang." Jelas Ferdinand.

"Jadi, Anda mengelola perusahaan minyak itu?"

"Tidak, dulu saya hanya bekerja disana. Tapi setelah investasi saya di beberapa tempat berkembang, saya tidak ikut mengurus perusahaan itu lagi. Perusahaan itu dikelola oleh putranya sendiri, anak sambung saya." Jawab Ferdinand membuat Aldebaran mengerti.

Saat akan menanyakan beberapa hal lagi, tiba-tiba ponsel di dalam saku pria itu bergetar. Aldebaran bergegas mengambilnya dan melihat nama siapa yang tertera sedang memanggilnya. Ia tersenyum simpul saat melihat nama kekasihnya, lalu melirik ke arah Ferdinand, seakan memberi isyarat untuk ia izin menyambut telepon.

"Andin, ya?" Tebak Ferdinand saat melihat wajah sumringah dari Aldebaran.

"Iya, sebentar ya, Pak."

"Sure, silahkan." Ferdinand mempersilahkannya dengan senang hati.

"Selamat malam." Sapa Aldebaran.

"Malam, Mas. Kamu lagi di rumah nggak?" mendengar pertanyaan itu, Aldebaran kembali melirik Ferdinand.

"Eee, saya kebetulan lagi ada urusan di luar. Ada apa, Andin?"

"Ohh, lagi di luar, ya? Sama siapa?"

"Saya ditemani Tommy, asisten saya. Saya sedang ada pertemuan dengan seseorang."

"Ooo, kalau begitu aku ganggu dong?" Tanya Andin dengan polos membuat Aldebaran terkekeh.

"Ya. Karena kamu sudah mengganggu saya, maka katakan, ada apa?" Aldebaran bergurau.

"Yaudah deh, nanti aja."

"Heii." Aldebaran berdecak karena dibuat penasaran oleh gadis itu. Terdengar suara tawa halus dari balik telepon Aldebaran.

"Besok deh. Kamu kan lagi ketemu sama orang, aku nggak mau ganggu."

"Andin... Tell me now, please." Aldebaran memelas.

"Besok aja, sayang. Sekarang kamu selesaikan urusan kamu dulu, ya." Ucap Andin terdengar begitu lembut dan mesra. Hal itu membuat Aldebaran sedikit mengulum senyum malu-malunya.

"Baiklah. Kamu istirahat, ya. Jangan begadang." Ucap Aldebaran, luluh.

"Iya, kamu juga. Jangan lama-lama meeting-nya. Habis selesai langsung pulang, jangan kemana-mana lagi."

"Iya."

"Dahh."

"Dahh."

Usai menerima telepon dari Andin, Aldebaran kembali menyimpan ponselnya dan beralih pada Ferdinand yang tampak tersenyum senang mendengar interaksi Aldebaran dengan putrinya. Ferdinand yakin bahwa putrinya sedang bahagia-bahagianya bersama Aldebaran, maka ia tidak mau merusak kebahagiaan putri kesayangannya itu.

"Melihat kamu yang berbinar membuat saya yakin kalau Andin bahagia bersama kamu." Ucap Ferdinand kemudian memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya.

"Semoga, Pak." Aldebaran meminum jusnya.

Forever AfterWhere stories live. Discover now