(23) Tabir Masa Lalu

Start from the beginning
                                    

Aldebaran rasa pria itu terpaksa meminta maaf padanya untuk menghargai Andin. Dari raut wajahnya, Aldebaran tidak melihat adanya penyesalan disana. Namun dengan sikapnya yang seringkali melirik ke arah Andin membuat Aldebaran mengerti bahwa Daniel meminta maaf bukan karena ketulusan, melainkan melakukannya untuk Andin.

Sebagai laki-laki, Aldebaran menduga sejak lama bahwa Daniel menyukai kekasihnya itu, akan tetapi Andin hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.

"Iya, tidak apa-apa. Saya mengerti anda juga khawatir dengan Andin. Saya juga minta maaf karena sudah tersulut emosi kemarin." Balas Aldebaran.

"Nggak papa."

"Oke, berarti clear, ya? Apa ada lagi yang mau Anda bicarakan?" Tanya Aldebaran membuat pria di hadapannya itu kembali melirik Andin, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.

"Kalau tidak ada, kami pergi, ya." Lanjut Aldebaran, merasa tidak suka dengan tatapan Daniel pada kekasihnya.

"Oh, iya."

"Gue sama Mas Al duluan ya, Niel." Pamit Andin membuat Daniel tersenyum tipis.

"Iya, Ndin. Hati-hati, ya."

Masih dengan jemari yang saling bertaut, keduanya melenggang pergi keluar dari pintu Coffeeshop itu, meninggalkan Daniel yang berdiri menatap kepergian keduanya dengan perasaan yang meradang, terlebih sejak menyadari dua tangan yang saling menggenggam itu.

Ketakutan akan kehilangan perempuan yang ia sayangi itu kian menjadi. Namun apa boleh buat, ia tidak punya daya apa-apa, apalagi jika harus berkata jujur bahwa ia menyukai Andin. Ia benar-benar tidak punya nyali untuk itu, sebab yang menjadi taruhannya adalah persahabatan mereka selama ini.

_____________________

"Capek nggak?!"

"Lumayan ya, ternyata!"

"Lagian salah sendiri, sudah dibilangin!"

Andin tertawa menyadari deru nafas Aldebaran yang agak memburu karena harus mengayuh sepeda di jalan raya yang sesak dan menempuh perjalanan yang tidak dekat. Namun meskipun sedang mengayuh sepeda milik gadis itu, Aldebaran tetap konsisten dengan kacamata hitamnya yang sedikit membantu dari silaunya mentari sore itu.

"Tapi saya senang bikin kamu ketawa!" Ungkap Aldebaran dengan suara nyaringnya karena banyaknya polusi suara di jalanan tersebut. Andin yang menyandarkan sisi kepalanya pada punggung pria yang pinggangnya ia peluk itu tampak tersipu.

"Makasih, ya!" Balas Andin.

"Terima kasih buat apa?!"

"Terima kasih karena sudah bikin aku ketawa." Mendengar jawaban itu membuat senyuman Aldebaran tersungging dengan sempurna. Ia menunduk menatap sepasang tangan yang memeluknya dari belakang.

"Semoga saya bisa terus bikin kamu senang seperti ini, ya!" Andin mengangguk disertai senyuman manisnya, turut meng-aamiin-kan harapan pria itu.

"Andin..." Panggil Aldebaran dengan suara yang agak pelan dari sebelumnya.

"Iya, Mas?"

"Saya boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Soal?" Aldebaran diam sesaat, mencoba memberanikan diri menanyakan sesuatu yang menurutnya cukup sensitif bagi Andin.

"Soal masa lalu kamu..." Jawab Aldebaran, ragu.

"Soal papa maksud kamu?" Sahut Andin, nampak mengerti dengan arah persoalan yang ingin pria itu bahas.

"Emm... Maaf kalau itu membuat kamu tidak nyaman."

"Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa mengerti kalau kamu ingin tahu lebih jauh soal Papa aku."

Forever AfterWhere stories live. Discover now