"Dua jam."

Mata Fisika terbelalak, itu artinya lokasi yang ditunggu terletak sangat jauh. Kota lama, kian tertinggal di belakang.

"Lo takut kecapean?" Libra berusaha berkelakar. Dia sadar, Fisika pasti sangat syok mendengar jarak yang ditempuh.

"Tentu saja. Tapi mau di apa? Itu cara satu-satunya untuk pulang."

"Untuk pulang ya?" Libra bergumam lirih. Seperti ada sesak di dada, saat kata-kata itu terucap.

Sesekali, mereka istirahat dan memeriksa tempat-tempat terbengkalai mencari sesuatu yang bisa dimakan. Stok air minum, hampir habis. Matahari semakin hari, semakin tinggi dan hampir membakar kepala dari atas.

Di salah satu bekas cafe terbengkalai. Perabotan yang berhamburan, meja-meja terbalik, kursi yang patah, langit-langit yang bocor serta alat dapur yang berantakan.

Mereka berdua pun memutuskan untuk istirahat sebentar. Ada satu minuman kaleng bersoda yang berhasil ditemukan. Minuman tersebut pun dibagi dua. Fisika mendapat giliran pertama untuk meminum setengah botol.

"Oh, Dewa!" Fisika memekik kaget. Tatkala, melihat pantat botol yang sedang diteguk oleh Libra. "Udah kadaluarsa."

"A- Apa?"

Fisika menunjukkan tahun dan tanggal pembuatan yang berada di bawah pantat kaleng. Percuma saja, Libra sudah menegak minuman tersebut sampai habis. Mereka berdua sama-sama terdiam lalu tertawa hambar.

"Bahaya enggak nih?" Libra terkekeh muram.

"Kalau enggak sakit perut, berarti baik-baik saja."

"Oke." Libra bangkit berdiri dari kursi cafe. "Ayo segera cari apotek."

"Hah?" Libra menarik paksa lengan Fisika. Wanita itu cukup tersentak.

"Hanya terlambat satu tahun kok." Fisika mencoba menenangkan Libra. Dia yakin, energi mana dalam dirinya, bisa menetralisir hal berbahaya tersebut. Bila Libra mengalami gejala keracunan, Fisika akan menggunakan sihir pula untuk menyelamatkannya.

Kendati demikian, Libra tidak menggubris kata-kata Fisika. Rahangnya mengeras, sorot mata cokelat Libra berkilat kepanikan yang Fisika rasa, bukan saatnya mengajak si pria bercanda. 

Genggaman tangan Libra juga terlalu kuat. Wanita bermata amber itu hanya menurut saat dibawa Libra pergi memeriksa apotek yang bisa mereka temui.

Di apotek, genggaman tangan Libra terlepas. Namun berganti posisi dengan memegang kedua bahu Fisika dan ia menundukkan pandangannya agar sejajar dengan tinggi sang calon permaisuri Malakai.

"Katakan pada gue, obat apa yang harus kita cari? Lo pasti tahu, 'kan?"

Tatapan Libra begitu menembus sukma. Terlalu tajam dan menakutkan secara bersamaan.

"Eh, itu. Kita harus melihat gejala awal yang timbul," ucap Fisika, "keracunan makanan adalah kondisi yang ditandai dengan munculnya mual, muntah, atau diare setelah mengonsumsi makanan yang telah terkontaminasi. Sejauh ini, kita baik-baik saja kok."

"Ya! Tapi bagaimana dengan 5 menit ke depan? 30 menit kemudian? Apa lo bisa menjamin kita bakal baik-baik saja?"

"Tapi, umumnya, keracunan makanan bukanlah kondisi yang serius dan dapat sembuh dengan sendirinya kok. Gue rasa kita berada di opsi kedua. Namun, kondisi ini terkadang juga dapat membahayakan dan membutuhkan penanganan khusus oleh dokter."

"Lalu?" Libra terus mendesak. "Apa yang akan lo lakukan jika opsi kedua terjadi pada kita berdua?"

"Pertama, minum air putih sebanyak-banyaknya. Kedua, gue akan mengambil obat antimuntah dan diare guna antisipasi. Serta antihistamin jaga-jaga jika demam."

Cengkraman kedua tangan Libra melunak. Dia mundur selangkah ke belakang. Lalu, mengizinkan Fisika untuk melihat. Namun, Libra menangkap perubahan ekspresi wajah Fisika yang menjadi pucat dan tegang dalam beberapa detik. Terlambat untuk berteriak, seorang zombie wanita merangsek dari dalam apotek secara misterius.

Ia menerjang punggung Libra dengan gigi-gigi yang berlumuran darah. Pria itu pun tersungkur dan jatuh di ubin. Fisika yang melihat semua itu, hanya bisa mematung dan membeku di tempat.

The End

Author Note
Oke, aku mau cuap-cuap dikit. Jadi ini jumlah yang genap dengan berakhir di chapter 40.

Karena karya ini telah didaftarkan ikut wattys, status cerita harus tamat di sini. Tetapi jangan khawatir, setelah penjurian. Kuanta bakal ku lanjutkan kok. Entah menang atau tidak, enggak jadi masalah. Namanya juga berkompetisi. Hal seperti itu, kejadian yang lumrah.

Oh, ya. Aku mau bicara soal Elf. Rencana awal, itu kan bercerita mengenai putri bungsu Sagi yang memilih tinggal di dunia Ibunya.

Tetapi, aku merasa waktu menulis. Terjadi cacat logika. Interval waktunya pasti berbeda, 16 tahun kemudian. Peradaban pasti berubah, masa udah di masa depan, suasananya kayak tahun 2020 juga. Yaa, enggak masuk akal. Penulis terlalu memaksakan kehendak. ಥ⌣ಥ

Jadi, aku memutuskan untuk me-unpublikasikannya. Jika pun terbit, latar belakang tokoh bakal kuubah total. Dan aku pun berganti rencana, semua anak-anak Sagi, akan diceritakan berlatar di Malakai atau wilayah bapaknya. Karena memang, dunia Bapaknya di sini, kurang disorot.

Cerita Kuanta ini bakal beranak cucu.
Mungkin setelah pencarian Flower Winter berakhir, akan ada work khusus yang menceritakan kisah cinta Fisika dan Sagi sampai nikah dan punya anak. Tentu saja, semua itu tidak mudah.

Lalu kisah tiga anak mereka, akan fokus ke genre fantasi. Ini juga, berdiri sendiri-sendiri. Aku udah ada bayangan, yaitu kisah anak pertama dan anak ketiga. Tetapi kisah anak kedua, belum ada sama sekali. Maaf ಥ⌣ಥ

Sebagai spoiler warning. Anak ketiga, akan identik dengan dunia alkimia, kimia, dan farmasi (obat-obatan) dan mungkin kedokteran.

Anak pertama bakal identik dengan sains, seperti biologi, intrik perebutan kekuasaan, perang, pertempuran, dan fantasy heroik.

Mungkin segitu dulu cuap-cuapku di chapter ini. Di tengah jalan, konsep-konsep cerita di atas, tidak menutup kemungkinan bakal berubah.

Oke, sampai ketemu, setelah penjurian wattys selesai.

Pantau aja notifikasi, siapa tahu, kisah anak-anak Sagi bakal dipublikasikan. See ya...




Kuanta (End)Where stories live. Discover now