2. Kissing Scene

2.5K 209 1
                                    

Jaemin mengigit bibir. Tangannya menggulung naskah yang baru saja ia terima. Kakinya bergetar seperti tidak kenal rasa tenang.

"Kak, gimana?" rengeknya pada Kak Yuri, managernya.

Yuri memutar mata. "Sejak tadi kau terus bertanya bagaimana, tapi jawabanku pun tidak kau pertimbangkan."

Perempuan berkulit tan itu menghela napas panjang lalu bangkit berdiri sambil mencangklek tote bagnya ke bahu. "Pikirkan baik-baik. Tawaran sebesar ini mungkin tidak akan datang padamu dua kali," pesan Yuri. "Beri tahu aku jawabannya sesegera mungkin, ya." Lalu Yuri meninggalkan Jaemin sendirian di apartemennya.

Duh... tawaran menjadi pemeran utama dari sutradara favoritnya ini memang kesempatan emas. Akting Jaemin akhirnya diperhitungkan oleh para profesional di industri perfilman. Selain itu, ini bukan film kaleng-kaleng. Ini film bermodal besar dengan jalan cerita menarik.

Tapi...

"Hah..." Jaemin menghela napas sambil mengistirahatkan kepalanya di permukaan kaca meja makan. "Bagaimana aku minta izin pada Jeno?" tanyanya pada angin.

.
.
.

"Oh? Kau datang? Kenapa tidak memberi tahuku?" tanya Jeno beruntun ketika membuka pintu apartemennya dan menemukan Jaemin di dapur. Ia memang memberi tahu Jaemin kode pintu apartemennya. Tapi Jaemin biasanya akan memberi tahunya lebih dulu kalau mau datang.

"Kejutan?" jawab Jaemin setengah tidak yakin.

Lelaki itu segera menukar sepatunya dengan sandal rumah lalu mendekat pada Jaemin yang sedang menghangatkan kimchi jjigae di atas kompor.

"Kamu masak?"

"Sayangnya tidak. Aku beli makanan di perjalanan dan hanya menghangatkannya," aku Jaemin berbuah Jeno menjawabnya dengan "Oh..." panjang.

Jaemin melirik pacarnya yang masih dalam balutan seragam biru rumah sakit. "Sana mandi. Badanmu berbau seperti obat antiseptik."

"Iya," jawab Jeno lalu mengambil handuk dan masuk kamar mandi.

Tidak lama setelah pria itu membersihkan diri, berbarengan dengan Jaemin yang baru meletakkan sepanci kimchi jjigae hangat di meja makan. Jeno tanpa pikir dua kali, menyantap makanan yang Jaemin sediakan. Ada nasi, kimchi jjigae, dan tangsuyuk.

Melihat Jeno makan dengan lahap membuat Jaemin mengulum senyum meskipun rasa tenang masih menggelayuti hati. Ia menatap lirih pada dua sendok nasi yang kini telah bercampur dengan kuah kimchi jjigae di mangkuk. Perutnya mendadak mulas dan bafsu makannya lenyap, entah ke mana.

"Ada masalah?" tanya Jeno menyadari keterdiaman Jaemin. Biasanya wanita itu banyak bicara.

Jeno meraih air mineral di gelas dan meminumnya tanpa mengalihkan pandangan dari Jaemin.

Jaemin mengerucutkan bibir. "Habis ini aku mau bicara."

Alis Jeno naik tinggi-tinggi. Ia mendadak menggali seluruh memorinya, mengira-ngira salah apa yang ia perbuat pada Jaemin. Seingatnya, hubungan mereka sedang baik-baik saja. Ulang tahun Jaemin masih jauh. Peringatan hari jadi mereka juga masih jauh.

Makan malam berlangsung dengan hening karena baik Jeno maupun Jaemin sama-sama bergelut dalam pikiran masing-masing.

Jeno duduk di sofa ketika selesai makan dan membantu Jaemin memilah sampah. Sedang Jaemin sedang mengeringkan tangan setelah mencuci piring di sink.

Perempuan itu segera duduk meringkuk di sebelah Jeno sambil memeluk pinggang rampingnya. Kepalanya sengaja ia istirahatkan di dada bidang pacarnya.

"Jadi? Mau bicara tentang apa?" tanya Jeno.

"Hari ini kamu ngapain aja?" tanya Jaemin basa-basi.

"Seperti biasa. Pagi, aku melakukan kunjungan pasien rawat inap. Lalu siang hari, aku ada shift di poli umum," kata Jeno.

"Oh..." respon Jaemin. "Hari ini aku bertemu dengan Sutradara Shin."

"Shin Dong Hee?" tanya Jeno, memastikan.

Jaemin mengangguk.

"Dia sedang punya proyek film tentang mata-mata Korea Utara yang menyusup ke Blue House. Dia menawarkanku untuk peran utama."

"Wah... selamat, ya," kata Jeno tahu benar betapa Jaemin menyukai film-film garapan Sutradara Shin. Dia bahkan memutar filmnya berkali-kali dan meneliti karakteristik dari sutradara yang satu itu.

Sadar bahwa Jaemin tidak merespon, Jeno menunduk hanya untuk mendapati wajah kecut Jaemin.

"Jaem?"

Mata bulat Jaemin mendongak, berhadapan dengan wajah Jeno yang kelihatan khawatir.

"Kamu baik?"

Telapak besar Jeno menyentuh dahi Jaemin, memastikan suhu tubuhnya. Normal.

Jaemin mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Tapi ada kissing scene-nya."

Jeno langsung diam.

Jaemin mengigit bibirnya lagi.

Apa Jaemin pernah bilang kalau wajah Jeno yang tersenyum itu menggemaskan? Tapi kalau sedang datar seperti ini, wajah Jeno berubah jadi galak sekali. Jaemin kan jadi takut.

"Aku akan menolaknya kalau kamu tidak mengijinkan aku," kata Jaemin sambil menunduk. Meski setengah dirinya tidak rela kehilangan kesempatan itu, setengah dirinya lagi lebih tidak rela kehilangan Jeno. Jaemin jadi dilema.

"Berapa banyak adegan ciumannya?"

"Ada dua."

Jeno menghela napas, menekan kesal yang mendadak memenuhi hatinya.

"Ya sudah, lakukan saja dengan profesional."

"Eh?" Jaemin mendongak dengan mata membulat kaget. Ia kelihatan bingung.

"Kau menginginkan peran ini, kan?" tanya Jeno lagi.

"Ingin... tapi..." Jaemin meragu.

"Lakukan saja dengan profesional, jadi adegannya tidak perlu diulang berkali-kali," kata Jeno.

Bagaimanapun, Jeno tidak mau jadi batu sandungan untuk karier Jaemin.

Menjalin hubungan sembunyi-sembunyi seperti ini saja sudah membahayakan karier Jaemin. Masa, perempuan itu harus mengorbankan kesempatan emas yang datang padanya hanya karena Jeno?

Mata Jeno melembut dengan senyum tipis yang terulas di wajahnya mana kala wajah tegang Jaemin perlahan jadi melunak. Bahu perempuan itu bergetar dalam tawa seraya kikikan senang penuh semangat yang mengalun dari bibirnya. Pelukannya mengerat pada pinggang Jeno.

"Terima kasih, Jeno..." ucapnya.

.
.
.

"Jadi, apa kimchi jjigae tadi adalah sogokan?"

"Hehe..."

Cengiran Jaemin membuat Jeno gemas. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada bahu Jaemin. Ia membubuhkan kecupan panjang pada dahinya.

"Anak nakal."

.
.
.

Chapter 2 — End

In SecretKde žijí příběhy. Začni objevovat