Twelve: 2112

138 11 10
                                    

"And this is the part where our whole lives collide

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

"And this is the part where our whole lives collide.
The stars themselves fell, like we did that night."
2112 - Reality Club

🌻🌻🌻

Author

Kalau boleh jujur, pagi itu adalah pagi yang paling indah buat Calum dan Verin.

Nggak langsung beranjak pergi dari kasur luas berselimut satu set sprei putih itu, mereka memutuskan untuk bersantai sejenak. Being in the moment, skin to skin.

"Stop." Verin menjawil lengan Calum yang masih melingkar dengan erat di lehernya.

Calum terkekeh, "what?"

"Stop looking at me like you're going to bite me." Cewek itu melanjutkan.

Kira-kira seperti itulah beberapa cuplikan-cuplikan momen yang terputar di pikiran Verin selama dirinya memijakan kaki di tanah luas berumput milik kampus Luke, dimana konser Reality Club yang telah ia tunggu-tunggu itu diadakan.

Di belakangnya, sosok lelaki yang tinggi bandannya dua puluh lima senti lebih tinggi dari dirinya, berdiri tegap sambil mengalungkan tangan kanannya di pundak Verin. Nggak lain dan nggak bukan, cowok itu adalah Calum.

Dengan posisi yang sama, Luke dan Dira juga berdiri di sebelah mereka, sambil fokus melantunkan lirik lagu berjudul 2112 yang sedang dimainkan oleh band asal Jakarta itu.

"We were young and we were old, life was warm then life was cold," Luke bersenandung, matanya bertukar pandang dengan Calum yang juga sedang asik menikmati pertunjukan di hadapannya.

"It gets harder, yes, you'll see. But were we ever meant to be?" Calum melanjutkan, badannya yang awalnya tegap kemudian bergerak ke kanan dan kiri, membawa Verin yang ada di dekapannya ikut bergerak. Senyumnya nggak tertahankan, saking bahagianya perasaannya untuk berada di atmosfer itu bersama orang-orang yang ia sayangi.

"We were young and we were old, life was warm then life was cold," lirik lagu itu terus dilantunkan oleh sang vokalis, Fathia Izzati, sembari ia melambaikan tangannya di udara. "It gets harder, yes, you'll see. But were we ever meant to be?"

Memang bait tersebut akan diulang sampai lagunya habis dan Verin paham banget akan hal itu. Mirisnya, lirik lagu tersebut kayak mendadak diserap oleh otaknya yang sejak tadi cuma tersumbat dengan momen indahnya bersama Calum tadi malam.

Were we ever meant to be?

Kalau ngomongin takdir, siapa pun nggak akan mau memikirkannya terlalu serius. Terlalu takut sama apa yang akan terjadi atau yang telah terjadi, biasanya cuma bisa bikin manusia lupa untuk hadir di situasi yang sekarang ada di depan mata.

Sialnya, lagu tersebut seakan-akan memaksa Verin untuk tetap waspada sama apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Apa Verin sanggup menghadapi Calum yang kerap kali memukul benda di sekitarnya saat mereka bertengkar? Apa Verin sanggup menerima kenyataan bahwa Calum juga suka menutupi hal krusial yang seharusnya nggak perlu ditutupi? Apa Verin punya nyali untuk selalu memaafkan Calum?

End of The Road | cth - VERY SLOW UPDATEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz