Chapter 37- Kinematika

Mulai dari awal
                                    

Libra yang melihat peristiwa tersebut, kian mempercepat laju kecepatan larinya. Ia sadar, petir tersebut berasal dari Fisika.

Dilihatnya Haruto yang pingsan dengan kepala mengeluarkan cairan berkoloid merah. Dia mengabaikan pria tersebut. Anak buahnya akan datang menghampiri Haruto, sebab mereka sedang pontang-panting mengejarnya dari belakang.

Libra menatap nanar pada Fisika yang tidak sadarkan diri. Wangi tubuhnya mengeluarkan aroma hangus. Dia pun segera melompat ke dalam jok belakang jeep. Kemudian menepuk pelan pipi Fisika.

"Fis? Fisika? Lo masih sadar?"

Fisika tidak menjawab. Libra pun segera berinisiatif membawa lari tubuh wanita tersebut, meninggalkan jejak keberadaan mereka pada sisa-sisa sambaran petir yang merusak koneksi mesin pada mobil.

.
.
.

Libra berlarian di jalanan dengan tampang pucat pasi, ia menelisik setiap tempat begitu cermat. Dia membutuhkan tempat persembunyian yang baru dan layak untuk terhindar dari acaman apapun.

Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke dalam mini market kosong yang berada pada pom bensin terbengkalai. Ia tidurkan Fisika di lantai yang berserakan produk-produk kemasan yang telah rusak.

Sementara itu, Libra bergerak menarik semua tirai dinding kaca untuk tertutup dari pemandangan luar. Ia juga menarik paksa pintu yang setengah rusak untuk tertutup.

Fisika masih tidak bergerak sama sekali. Libra pun bergerak ke etalase-etalase kosong mencari-cari sesuatu yang berguna untuk menyadarkan Fisika. Senyumnya perlahan terbit, tatkala mendapatkan satu botol mineral yang berada dalam posisi penyok.

"Fisika?" Libra kembali menghampiri Fisika yang masih tidak sadarkan diri. Ia membuka tutup botol. Menuangkan sedikit air di tangan, lalu memercikkan cairan tersebut ke wajah Fisika untuk bangun.

"Ya Tuhan! Jika lo seorang Dewi. Gue mohon untuk lo segera bangun."

Libra menidurkan Fisika di atas pangkuannya. Ditatapnya wajah wanita tersebut lekat-lekat. Tidak pernah seumur hidupnya, ia begitu mengkhawatirkan seorang wanita yang pertama kali ia temui.

Menyadari bahwa ia harus memeriksa suhu dan kondisi tubuh Fisika. Libra dengan nekat, membuka sarung tangannya dan meletakkan punggung tangannya di kening Fisika.

Sensasi sengatan listrik yang membakar kulit terasa sangat menyakitkan. Kendati demikian, Libra tahu bahwa tubuh Fisika mengalami demam yang cukup tinggi.

Pria ini kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa. Satu-satunya harapan Libra adalah menunggu sampai Fisika terbangun.

Mengisi kekosongan di sekitar mereka. Libra mulai bersenandung sebuah melodi yang membuatnya teringat akan masa lalu.

.
.
.

Serak, itulah yang dirasakan Fisika saat mendapati kesadarannya kembali. Tenggorokan terasa kering dan mulut terasa panas. Ia mendapati dirinya sedang tertidur di tengah-tengah rak etalase yang sekitarnya telah dibersihkan oleh Libra.

Dia masih merasa pusing, Fisika sadar dia sedang mengalami demam. Memikirkan meninum obat di saat seperti ini menjadikan Fisika merasa pesimis.

"L- Libra?"

Hening, tidak ada sahutan. Fisika mencoba bangun. Namun ia mendapati kepalanya berputar-putar. Terpaksa, ia kembali berbaring di atas lantai.

"Apa dia benar-benar meninggalkan gue?" Fisika bertanya lirih pada dirinya sendiri. "Apa di dunia ini ada Flower Winter?"

Di saat Fisika mencemaskan keadaanya. Sagi yang telah siuman, sedang melakukan yoga di beranda sebuah kamar di dalam menara istana.

Seseorang perlahan berjalan mendekatinya dari belakang.

"Pergilah Ibu." Sagi seolah bisa menyadari sosok yang berjalan di belakangnya. "Aerglo tidak ingin bertemu siapa pun sekarang."

Ibu Suri yang mendengar seruan sang Putra menggeleng tegas.

"Ada Sohye di sini. Dia mengkhawatirkanmu. Dia terus menunggumu hingga kau sadar, Putraku."

Sagi yang semula sedang memenjamkan mata demi berkosentrasi mencari jejak keberadaan Fisika. Membuka kedua kelopak mata dengan tatapan yang begitu sinis.

"Aerglo tidak pernah mengundang Sohye. Ibu sendiri yang mengundangnya. Jadi, jamu-lah ia Ibu."

Ibu Suri tidak putus asa. Dia menoleh ke belakang. Pada pintu kamar yang sedang terbuka. Di sana, berdiri seorang wanita yang sedang menggunakan dress maxi panjang berwarna biru tua.

Dia berjalan masuk, saat Ibu Suri memberikan intrusi agar masuk ke dalam kediaman pribadi Sagi.

"Berbicaralah padanya, Sohye." Ibu Suri menepuk pundak wanita berambut perak ini dengan tersenyum lembut.

"Baik Yang Mulia." Sohye menyahut dengan satu kaki kanan menekuk untuk memberi penghormatan.

Ibu Suri membelai pipi Sohye dengan lembut. Lalu berjalan meninggalkan Sohye bersama Sagi yang suasana hatinya telah rusak.

"Baginda." Sohye berusaha menyapa. Ia tetap menjaga jarak dari Sagi. Ia berdiri begitu anggun dan bersahaja.

Diliriknya kamar dengan warna coffee dan cream. Chandelier mewah menggantung di langit-langit. Kasur berukuran king size dengan gaya berkanopi kelambu. Tirai putih tipis berkibar-kibar sebagai batas yang memisahkan balkon dan ruang dalam kamar.

"Pergilah, Sohye. Aku tidak menginginkanmu di sini." Sagi masih betah untuk tetap di tempatnya. Ia tidak berniat mengubah posisi duduk.

"Baginda. Apa Anda baik-baik saja? Perjalanan lintas paralel adalah hal yang berbahaya. Hamba bisa merekomendasikan prajurit terbaik untuk mengumpulkannya."

"Apa kau tuli Sohye? Aku tidak menginginkan kehadiranmu di sini. Keluarlah dari kamarku. Sekalipun Ibu Suri mengizinkanmu, aku tetap tidak memberi izin pada dirimu untuk berada di sini."

Sohye mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap Sagi yang begitu dingin. Dia tidak akan menyerah, apa pun akan ia lakukan demi mendapatkan perhatian Sagi.

"Baginda," ujar Sohye, "sebaiknya Baginda memikirkan soal pernikahan kita baik-baik. Semakin lama Baginda menunda hal ini, para tetua akan berpikiran yang negatif pada Baginda dan Kekaisaran. Pemberontakan bisa terjadi saat Baginda tidak berada di tempat."

Sagi menarik napas dalam-dalam. Energi dan napas kehidupan Fisika masih ia rasakan. Dadanya terasa sesak sejak ia terbangun. Ia sadar bahwa Fisika dalam bahaya. Tetapi ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun itu.

Ada gejolak aneh yang Sagi bisa rasakan. Mana nya seolah ditarik paksa untuk menghasilkan sihir yang cukup besar dan dia tahu, Fisika melakukan hal tersebut karena ia merasa terdesak.

"Bigbos!"

Pintu kamar mendadak terbuka oleh Izar yang berlari dengan panik. Ia tersentak tiba-tiba melihat kehadiran Sohye di dalam kamar.

"Salam." Izar memberikan salam singkat. Lalu berjalan mendekati balkon kamar Sagi. "Bigbos."

Sagi pun beranjak dari tempatnya. Ia menoleh menatap Izar dengan begitu lekat. Lalu berpaling pada Sohye yang masih setia berdiri di dalam kamar. "Keluar Sohye. Ini perintah."

Sohye hanya bisa menunduk. Ia menekuk kaki kanannya ke belakang. Lalu berpamitan keluar dari kamar. Memastikan bahwa pintu kamar telah benar-benar tertutup.

Sagi merapalkan sebuah mantra Exited dan mengarahkannya pada pintu ganda tersebut. Memungkinkan siapa pun tidak akan menguping pembicaraan dari luar.

"Bigbos, gue tahu di mana Fisika berada." Izar segera mengungkapkan hasil temuannya. "Tapi kita perlu seseorang dari paralel dunia Fisika untuk ikut membuka celah dimensi."

Alis Sagi bertaut bingung.

"Apa kita harus mencari orang baru lagi?"

Izar mengganguk takzim.

"Siapa?" tanya Sagi penasaran.

"Kita perlu ke Karta, Bigbos. Untuk pergi mencari tahu."

___/_/_/____
Tbc

Kuanta (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang