"Kamu kok kepikiran naik sepeda sih, Mas?" Tanya Andin, dalam perjalanan mereka yang lambat itu.

"Saya tidak kepikiran sih sebelumnya, tadi hanya kebetulan pas di garasi melihat sepeda ini. Jadi saya pikir naik sepeda bukan ide yang buruk." Jawab Aldebaran.

"Punya kamu, Mas?" Terdengar Aldebaran terkekeh pelan.

"Punya Pak Damar dan istrinya."

"Pak Damar? Papa kamu?" Andin bertanya dengan lugunya.

"Iya, hehe." Jawab Aldebaran, tertawa.

"Dasar!" Andin ikut mengulum senyumannya.

"Dulu hampir setiap weekend mereka sering keliling komplek berdua naik sepeda ini. Tapi dari beberapa bulan belakangan sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah. Daripada sepedanya menganggur, lebih baik kita yang pakai, kan?" Aldebaran bercerita dan Andin menyimaknya dengan baik.

"Kenapa ? Kok sudah jarang dipakai?"

"Nggak apa-apa sih, sebenarnya. Kita lebih suka jogging bareng saja sekarang tiap weekend."

"Ohh."

Aldebaran terus mengayuh sepedanya hingga melewati depan rumahnya sendiri. Andin menoleh ke halaman rumah mewah itu yang terdapat beberapa motor dan mobil.

"Di rumah kamu lagi rame ya, Mas?" Tanya Andin, heran.

"Oh, iya. Teman-teman syutting Roy lagi main ke rumah, terus makan-makan juga."

"Kok kamu malah keluar, bukannya ikut?"

"Saya kan mau jalan sama kamu." Jawab Aldebaran santai, namun menimbulkan reaksi yang berbeda pada Andin. Kedua pipinya tampak merona meski di antara remang-remang malam.

"Lagi pula saya kurang suka dengan acara ngumpul-ngumpul rame begitu, cepat bosan saya." Lanjut Aldebaran menjelaskan tentang dirinya.

"Berarti Mas jarang main keluar sama teman-teman?"

"Bisa dibilang begitu. Teman-teman saya pun bisa dihitung jari. Saya keluar seringnya hanya untuk pekerjaan."

"Work oriented banget ya, Mas?" Ucap Andin diakhiri dengan kekehannya. Namun kali ini senyuman pria itu sedikit memudar begitu mendengar ucapan gadis itu. Tatapannya seakan menggelap. Ada sebuah memori yang tiba-tiba melintas di pikirannya.

"Mas?" Tegur Andin membuat Aldebaran tersadar. Ia tertawa kecil.

"Bekerja itu healing buat saya. Lebih dari separuh waktu saya, saya habiskan untuk bekerja. Tapi mungkin orientasi itu akan berubah kalau suatu saat ada hal baru yang lebih berarti buat saya."

"Hal baru? Apa itu?"

Aldebaran mendeham pelan, sedikit mendongakkan kepalanya, melihat bintang-bintang malam yang kebetulan sedang bertaburan. Andin terlihat menunggu jawaban Aldebaran, akan tetapi beberapa saat berlalu yang terdengar hanya sepoian angin malam berpadu dengan suara jangkrik.

"Keluarga kecil, misalnya." Tutur Aldebaran malah membuat Andin tertegun.

"Suatu saat, saya ingin melimpahkan waktu-waktu terbaik saya untuk keluarga kecil yang saya punya." Aldebaran melanjutkan kata-katanya. Andin tersenyum, simpul.

"Pasti mereka akan merasa beruntung punya kamu, Mas." Komentar Andin. Aldebaran sedikit menoleh ke belakang beberapa detik, lalu kembali menegakkan pandangannya.

"Sayangnya, saya belum punya partner untuk membantu membangun keluarga kecil itu." Mendengar ucapan yang terdengar seperti gurauan itu, Andin terdengar tertawa renyah.

Forever AfterWhere stories live. Discover now