2. Bapak Kos

15 2 0
                                    

Terhitung, sudah hampir 2 tahun Mamat tinggal sendiri, di kos-kosan yang berlokasi di daerah Lembang, Bandung. Buat pergi ke sekolah, dia cukup naik angkot sekali dengan ongkos sebesar Rp3.000 saja.

Pokoknya, sejak sang bunda memutuskan mengadu nasib jadi TKW di negeri tetangga, Mamat mesti jadi anak kos yang harus serba mandiri. Tinggal di rumah kontrakan yang sebelumnya, akan terasa sepi, tanpa sang bunda. Selain itu, biaya sewa per bulannya pun lebih tinggi, ketimbang kos-kosan yang  dia tinggali sekarang.

Ini Minggu pagi, di akhir bulan yang sebelumnya terasa mencekam. Mamat bangun lebih pagi, karena mendapati panggilan alam dadakan. Karena telanjur masuk ke kamar mandi, pemuda yang akan lulus SMA di tahun depan pun memutuskan sekalian membersihkan diri. Cuci pakaian yang dipakai, berikut dalaman yang sebenarnya masih wangi pelembut baju.

Saat hendak menjemur pakaian, Mamat menengok ke arah rumah pemilik kos. Berharap, si jelita yang sering mampir ke dalam mimpi-mimpinya, keluar. Entah itu buat menyiram tanaman, menjemur pakaian, atau sekadar jalan buat pergi ke warung di depan gang.

Memeras kaus hitam dengan gambar tengkorak besar di bagian dada. Setelah itu, Mamat menjemurnya di atas kawat. Dari pakaian yang sudah terbentang, pandangannya sekali lagi beralih ke arah pintu belakang rumah pemilik kosan.

Teteh Irma masih belum keluar. Apa masih tidur?

Pikirannya memang sering tentang si dia.  Bukan hanya saat menjemur pakaian. Tadi, di kamar mandi, ketika dia mengejan buat buang hajat, pikirannya melayang tiba-tiba pada Irma. Berpikir, hari ini Irma bakal pakai perona bibir warna apa? Merah bata atau pink fanta? Dia jadi lumayan tahu banyak soal pergincuan, akibat sering memerhatikan Irma. Anak pemilik kosannya memang cantik serta gemar bersolek. Bukan berdandan yang berlebihan. Hanya sebatas sapuan-sapuan make up yang membuat penampilannya jadi lebih segar, serta kian enak dipandang.

Tubuh jangkung Mamat kembali membungkuk. Kali ini mengambil kolor basket yang dia remas buat membuang air rendaman. Dikibas-kibas sekali, biar nantinya tidak terlalu kusut saat kering.

Sekali lagi, pandangan Mamat beralih. Menatap pintu belakang rumah Irma yang masih tertutup. Membuat bibir tipis Mamat sedikit merenggut.

Apa si teteh lagi jalan-jalan ke Maribaya?

Mamat menggeleng kecil. Setelah itu, dia menjemur kolor kesukaan di atas kawat jemuran.

Tinggal sempak dan kaus kutangnya yang ada di dalam ember. Mamat  menoleh lagi ke arah rumah sang pujaan hati. Namun, kali ini dia terkejut. Sosok tinggi tegap dengan raut keras, berdiri di ambang pintu.

Mengenakan sarung kotak-kotak serta kaus putih. Kumisnya yang tebal, menambah angker raut wajah yang nyaris tak pernah ramah--kepada Mamat.

"Apa kamu lihat-lihat?"

Rupa-rupanya, sejak Mamat curi-curi pandang sembari menaikkan semua jemuran, bapak kosannya sudah memerhatikan Mamat pula dari balik jendela dapur. Bocah Medan yang kadang kelakuannya edan tersebut, selalu diwaspadai oleh si bapak kosan. Yang berarti, bapak kosan adalah bapaknya Irma.

Calon mertua Mamat, di masa depan.

Mamat sampai berpikir, kalau menikah dengan Irma, bagaimana caranya meluluhkan hati sang bapak? Biar Mamat diridai oleh bapak Irma, menjadi menantu sekaligus imam bagi putri tunggalnya.

Mamat memang begitu. Padahal, belum tentu, dia dan Irma berjodoh. Tapi, angan-angannya selalu seperti Yamaha. Semakin hari, angannya semakin di depan.

Dan hal itu, terendus oleh bapaknya Irma yang seorang tentara. Semula biasa saja pada si Mamat, tetapi akhir-akhir ini, bapaknya Irma jadi terasa begitu galak. Yang lebih lucunya lagi, kalau di depan Irma, sang bapak bakal berpura-pura macam tak ada apa-apa.

Cinta Masa MudaWhere stories live. Discover now