1. Tanggal Tua

Mulai dari awal
                                    

"Biar kering," jawab Irma, masih memberikan senyum tipis yang membuat Mamat lupa dengan rasa sebal dan lapar. "Katanya, sore nanti hujan. Jadi, cuci bajunya mending sekarang."

Mamat angguk-angguk, meski posisi Irma membelakanginya. Rambut wanita itu basah, pasti tadi sekalian mandi juga. "Saya juga mau nyuci ah, Teh."

"Ya, sok atuh, A." Irma menoleh. "Keburu penuh jemurannya. Mending sekarang." Ada 6 kawat jemuran yang masing-masing memiliki panjang 2 meter. Dua kawatnya sudah penuh oleh jemuran Irma.

"Iya, Teh." Tak ada niat mencuci awalnya. Tetapi, setelah mengobrol sebentar dengan Irma, Mamat jadi mau bersih-bersih kamar sekalian. "Eh, tapi, Teh. Teteh tahu enggak cara bikin bubur di rice cooker?" Mungkin ini lanjutan dari basa-basi, buat memperpanjang durasi mengobrolnya dengan Irma. Tetapi, di sisi lain, ini juga adalah pertanyaan penting buat menyambung hidup Mamat, sampai tiga hari ke depan, setidaknya.

Irma menjemur kaus terakhir di kawat kedua. Kemudian ember merah muda dengan gambar anak singa, ditenteng kembali oleh Irma. Sang perempuan tak lantas kembali ke rumahnya yang berjarak beberapa meter dari petak kos-kosan yang ditempati oleh Mamat. Melainkan, menghampiri si pemuda yang masih duduk di bangku SMA.

"Kayaknya bisa, A." Irma belum pernah buat. Tapi, dia sudah sering memasak. Membantu sang Mama, kalau kuliahnya sedang libur. "Aa banyakin aja airnya."

Mengangguk-angguk, Mamat kembali bertanya. "Kalau berasnya setengah cangkir, airnya berapa cangkir, Teh?"

"Lima cangkir, A." Irma dulu pernah bantu mama bikin bubur. Seingatnya, takaran yang pas adalah 1 bagian beras : 10 bagian air. Kalau airnya kurang, nanti buburnya akan mengeras, lama kelamaan. "A Mamat mau bikin bubur?" Irma jadi penasaran.

"Muhun, Teh. Mau nyoba bikin bubur sendiri." Biar berasnya lebih awet. Makannya pun lumayan kenyang, meski nantinya juga laparnya bakal lebih cepat. Setidaknya buat tiga hari ini, biar makannya bukan hanya mi instan.

"Oh, ayo ke rumah atuh, A. Saya tadi beli bubur, buat sarapan bapak. Tapi, bapak keburu berangkat ke kantor. Jadi, buburnya nganggur."

Ditawari makan, saat krisis makanan, ini seperti doa yang langsung dikabulkan oleh Tuhan. Yang lebih pentingnya lagi, yang menawari adalah si cinta yang selalu Mamat impikan sebagai istrinya di masa depan. "Eh, enggak apa-apa gitu, Teh?" Mamat ini orang Medan, tetapi lama hidup di Sunda. Kebiasaan-kebiasaan orang Sunda jadi melekat pada dirinya. Temasuk, soal malu-malu dulu. Tapi, sebenarnya begitu mau. Binar matanya tak bisa disembunyikan, Mamat senang. Mau dapat makanan gratis, sekaligus jalan ke rumah gebetan—meskipun hanya berjarak beberapa langkah dari kamar kosannya.

"Iya, enggak apa-apa, A. Saya sama Mama udah makan. Sayang kalau bubur bagian bapak enggak dimakan." Irma menyelipkan anak rambut ke sela telinga. Wanita yang biasanya pakai kacamata itu, kembali memberikan Mamat senyuman. "Yuk, A?"

***

Sudah diberi makanan, Mamat juga diminta makan di dapur rumah ibu kosnya. Ditemani Irma yang sekalian melanjutkan pekerjaan rumah. Kali ini cuci piring, bekas sarapan. Mereka banyak mengobrol, meski sebenarnya Mamat lah yang banyak bicara, sementara Irma menanggapi sesekali.

"A Mamat lebih sering masak di kosan, ya?" Irma yang baru selesai mencuci piring, menuangkan segelas air buat Mamat.

"Makasih, Teh." Sedikit rona merah menyapu pipi tirus yang rahangnya tegas. Memang, kalau si cinta yang berbuat, hal kecil serasa jadi hal luar biasa. Menuangkan air dari teko plastik, berubah jadi macam mengambil air langsung dari 7 sumber mata air di pegunungan—istimewa. Dengan cinta, apa-apanya selalu terasa spesial. Mamat minum airnya dulu. Pelan-pelan, biar tak berceceran. "Iya, saya mah banyak masak di kamar. Yang bisa pakai rice cooker aja." Mamat baru menjawab pertanyaan Irma, setelah minumnya selesai.

"Temen-temen saya juga gitu," banyak teman Irma yang berasal dari luar Bandung, mereka tinggal di kos-kosan yang jaraknya tak jauh dari universitas tempat mereka belajar. "Aa pernah bikin nasi goreng di rice cooker?"

"Pernah." Mamat mengangguk.

"Kalau goreng kerupuk di rice cooker?" Tanya Irma lagi.

"Belum. Takut enggak mateng." Mamat beranjak, mau mencuci mangkuk dan gelas bekas pakai. Tetapi, Irma lebih dulu mengambil wadah-wadah kotor tersebut. "Yang nyuci biar saya aja, Teh." Mamat tak enak hati, melihat Irma harus mencuci bekas makannya.

"Enggak apa-apa. Sekalian." Irma kembali mencuci wadah kotor. Membelakangi Mamat, yang kini kembali duduk di kursi semula. "Nanti, deh. Kita coba, A."

Mendadak, Mamat tak bisa mencerna apa yang Irma ucapkan. Kita? Maksudnya, dia dan Irma? Hidungnya merekah, tak mampu ditahan. Memikirkan namanya dan Irma bersatu di dalam kata kita saja, sudah membuatnya bahagia. Memang, cinta itu indah. Meski kata sebagian orang lainnya, cinta juga memiliki penderitaan yang tiada akhir.

Mamat tak langsung menjawab. Tetapi, setelah itu, uang yang tadinya mau dia belikan mi instan, beralih dialokasikan buat membeli kerupuk bawang mentah.

"Oh, boleh. Saya bikin bubur, temen makannya pakai kerupuk." Setelah ini, Mamat mau segera balik ke kamar. Beres-beres, mengepel, cuci pakaian, lalu mandi sampai wangi.

"Ok, entar siangan, saya mampir." Irma menoleh ke belakang. Kembali tersenyum, sekali lagi. Senyum itu, adalah senyum yang selalu berhasil membuat Mamat terbenam dalam cinta, setiap kali senyumnya terbit.

"Siap, Teh!"

***

T

anggal tua menyeramkan. Tanggal tua juga menjadikan Mamat terdesak. Hampir makan sebungkus mi instan untuk satu hari, selama tiga hari ke depan. Tetapi, pertemuan dengan sang gebetan, membuat tiga hari yang seharusnya terasa menyeramkan, berubah jadi menyenangkan.

Irma mampir sekali ke kamarnya. Mereka memasak kerupuk bawang di dalam rice cooker, dengan keadaan pintu kamar kosan yang terbuka. Memang tidak sebaik saat digoreng menggunakan minyak yang dipanaskan langsung oleh api dari kompor. Tetapi, hasilnya juga lumayan memuaskan. Apalagi, Irma juga jadi makan bubur bersamanya di teras depan.

Kalau setiap tanggal tua begini, Mamat tidak keberatan. Menghabiskan waktu dengan wanita yang disukai, memang selalu jadi obat mujarab di segala keadaan sulit yang melilit.

###

Cinta Masa MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang