14. In Time

Mulai dari awal
                                    

Aku menatap perempuan itu, lalu tergelak. Dan ia tahu bahwa itu adalah jawaban 'ya' untuk dugaan yang barusan ia lontarkan. "Dengan Mas Legolas itu?"

Kali ini mengangguk tanpa ragu. Mbak Susan yang tengah duduk di balik komputer menatapku dengan penuh selidik. "Serius?"

"Yup."

"Maksudku, ini artinya hubungan kalian serius?"

"Yup." Aku kembali mengulang jawaban.

"Dan ... jangan bilang kalau kamu berencana menikah dengannya dalam waktu dekat ini?"

"Why not?" Aku bertanya balik.

Mbak Susan bangkit, menarik kursi dan membawa mendekat lalu mendudukinya. Kemudian, ia menatapku dengan serius. "Ge, ini bukan karena Mamamu ingin agar kamu cepat-cepat cari suami, kan? Bukan karena kamu dikejar umur, kan? Sampai-sampai kamu memaksakan diri untuk menjalin hubungan buru-buru dan berencana menikah dalam waktu dekat?"

Aku tak menjawab cecaran kalimat yang Mbak Susan ucapkan. Lagipula, mau jawab apa? Toh, sebagian prasangkanya benar. Bahwa aku memang buru-buru ingin mendapat suami, demi Mama, demi umur yang sudah nggak lagi muda, dan utamanya, demi bisa segera keluar dari rumah.

"Jika memang begitu, please don't. Jangan lakukan itu, Ge. Menikahlah jika kamu sudah siap dan menemukan orang yang tepat, bukan karena kamu sedang dikejar target. Menikah di usia tiga puluh itu nggak masalah. Memulai kehidupan rumah tangga di usia lebih dari itu pun, no problem. Bahkan punya anak di usia empat puluh pun, masih mungkin. Don't let people rush you with their timelines. It's your own life." Perempuan itu berujar bijak. "Bahkan yang nggak memutuskan menikah selamanya pun, ada. Lagipula, pernikahan itu bukan satu-satunya indikator pencapaian kesuksesan manusia." Ia kembali menambahkan.

Aku tersenyum kecut lalu menopang dagu dengan telapak tangan. "Menikah jika siap, punya anak jika pengen, nggak pun nggak masalah. Di negara plus enam dua, bisakah hidup sesantai itu? Sadly, not. People always keep commenting at everything without any reason, walau itu nggak bakal nambah saldo di rekening mereka. Nikah muda diributin, nikah telat diomongin, nggak nikah apalagi. Pun soal anak, karir, apa saja." Aku terkekeh. "Tapi ya ... mau gimana lagi." Aku mengangkat bahu, pasrah.

"Aku hanya nggak ingin kamu terjebak dengan sebuah pernikahan yang nggak bahagia, Ge. Aku dan Mas Oky agak trauma dengan beberapa pria yang dekat sama kamu dan ... begitulah. Percayalah, kalau sekarang dia ada di sini, pasti dia juga bakal ngasih nasehat yang kayak tadi." Mbak Susan kembali berujar.

Aku tersenyum lagi dan mengangguk. "Terima kasih, Mbak. Aku paham, kok. Mbak Susan dan Mas Oky adalah saudara yang luar biasa di sini." Kalimatku terjeda, mencoba menimang sejenak karena ragu akan kalimat yang ingin kuucapkan.

"Mbak, tadinya aku juga berpikir kalau misal aku memutuskan menikah, tak lain dan tak bukan hanyalah karena keinginan Mama dan juga umurku yang nggak lagi muda. Tapi, nyatanya nggak begitu. Sekarang, aku menemukan pria yang baik, yang menggemaskan, yang ingin kulihat sosoknya manakala aku hendak tidur, ataupun ketika aku membuka mata di pagi harinya. Pria yang membuatku senyum-senyum senewen layaknya gadis remaja yang tengah kasmaran, dan ... pria yang mungkin saja akan membuatku sering-sering membeli Hair Dryer dan ...." Mbak Susan keburu tergelak.

"Dan mungkin saja kami akan tetap saling rebutan pengering rambut berikut catokannya." Kali ini aku ikut terbahak, disusul kembali gelak tawa Mbak Susan.

"Kali ini ... aku ingin segalanya berjalan sebagaimana mestinya, Mbak. Dia, atau mungkin tidak sama sekali." Aku kembali berujar tanpa ragu.

Mbak Susan menatapku dalam. "Kedua matamu berbinar, Ge. Kamu bahagia banget kayaknya."

You Are My Morning GloryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang