"Ssstt, Roy! Jangan ledekin kakak kamu terus." Tegur Rossa seketika membuat Roy menyengir dengan memperlihatkan deretan giginya.

"Bercanda ya, Abang." Ucap Roy pada Aldebaran. Aldebaran terlihat tak begitu menghiraukannya.

"Oiya, untuk acara besok aku sudah konfirmasi ke bagian dekorasi. Mereka akan datang kesini dan mulai prepare dari jam sepuluh pagi. Dan untuk ketring aku minta sesuai dengan undangan ke tetangga-tetangga komplek. Kalau mama sama papa atau Roy ada undangan tambahan untuk kolega atau rekan kerja dan lainnya, nanti langsung hubungi Tommy saja karena dia yang handel semua persiapan acara besok." Kata Aldebaran.

"Iya, Al. Papa tidak ada undangan tambahan sih. Papa rasa undangan untuk komplek ini sudah cukup, karena kan syukuran ini khusus kita buat memang untuk perkenalan sekaligus menjalin keakraban dengan tetangga-tetangga baru kita disini. Jadi tidak perlu ada undangan untuk teman-teman kerja." Sahut pria berkacamata yang merupakan kepala keluarga di rumah itu disambut anggukan persetujuan oleh istrinya.

"Ya, mama setuju."

"Tapi kalau aku ajak teman-teman di lokasi shooting buat ikutan, nggak papa kan, Pa?" Kali ini Roy menginterupsi.

"Ya nggak apa-apa dong." Sahut sang papa membuat Roy kembali tersenyum lebar.

"Oke. Kalau begitu nanti loe tinggal komunikasikan sama Tommy saja, ya. Berapa banyak undangan teman-teman loe, terus mereka perlu apa, atau mau request menu lainnya, silahkan."

"Siap, Boss!" Sahut Roy dengan gaya hormatnya pada sang kakak.

"Loe itu memang abang terbaik gue sedunia." Lanjutnya membuat Aldebaran terkekeh pelan.

"Kan abang loe memang cuma gue." Aldebaran menyahutnya santai, lantas meneguk air putih di hadapannya. Roy hanya bisa menyengir mendengarnya, sedangkan kedua orang tua tersebut hanya senyum-senyum melihat tek-tok-an dua putra mereka.

Sudah jam sepuluh malam, akan tetapi Aldebaran belum tidur. Pria itu berdiri di sisian kolam renang dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Tatapan matanya kosong ke arah pusat kolam renang tersebut yang sedang memantulkan gugusan bintang dan bulan purnama di langit malam.

Ia menghela nafasnya mengingat kejadian hari ini yang hampir saja mengancam hidupnya. Apa niat terselebung client-nya itu terhadapnya? Rahang pria itu terlihat mengetat beberapa saat dengan tatapan mata yang amat tajam. Namun beberapa detik kemudian ia mengusap wajahnya, berusaha menetralkan kembali amarahnya.

//TRIIING!!//

Aldebaran menoleh ke arah meja kecil yang ada di sisian kolam renang di samping ia berdiri, melirik ponselnya yang baru saja berbunyi dengan layar yang menyala. Keningnya tampak mengerut saat melihat nama siapa yang tertera disana. Ia segera meraih benda pipih itu, lantas membuka pesan yang baru saja masuk.

"Mas, aku ganggu, nggak?"

"Mas sudah tidur, ya?"

Dua pesan itu baru saja ia baca, yang mana pengirim pesan tersebut tertera dengan nama "Andin". Aldebaran tersenyum halus, membuatnya lupa dengan amarahnya beberapa saat yang lalu. Pria itu mendeham, dan tampak mengetikkan kata demi kata untuk membalas pesan tersebut.

"Saya belum tidur." Itulah balasan pertama yang ia berikan. Tapi, kenapa gadis itu menghubunginya malam-malam? Tumben sekali.

"Ada apa?." Aldebaran kembali melanjutkan balasannya. Satu menit, dua menit. Gadis itu belum juga membalasnya.

//TRIIING!//

Refleks Aldebaran men-scroll kembali pesan yang baru masuk tersebut. Tidak salah lagi, itu adalah balasan dari Andin.

Forever AfterWhere stories live. Discover now