Chapter 17 - Dilatasi Waktu

Start from the beginning
                                    

Kunci yang dibawah Fisika terpatri nomor 12 dan benar saja. Si resepsionis berhenti di depan pintu kamar tersebut.

"Ini adalah kamar Nyonya. Kamar nomor 11 di sebelah adalah kamar Tuan. Jika Nyonya perlu sesuatu, Nyonya bisa menekan bel yang ada di nakas samping tempat tidur."

Dia membungkuk hormat. Kemudian melanjutkan langkah untuk turun ke lantai dasar kembali. Namun mendadak dicegat oleh Fisika yang menahan lengannya.

"Anda memanggil saya Nyonya?" tanya Fisika penasaran.

"Ya," jawab si resepsionis. "Bukankah Nyonya adalah wanita beristri? Sungguh tidak sopan jika saya harus memanggil Nyonya dengan panggilan lain."

Resepsionis itu pun meminta undur diri dengan kekehan kecil yang menemani langkahnya menuruni anak tangga. Fisika merasa, si penjaga penginapan pasti salah paham dengan hubungannya bersama Sagi.

.
.
.

Langit kota Bern telah menggelap. Bintang bertaburan indah. Momen dibawah balkon lantai tiga Fisika abadikan diam-diam dalam bidikan kamera. Kesempatan emas tidak datang dua kali. Siapa yang mau melewatkan melihat kota fantasi secara nyata.

Di bawah penginapan matahari. Tampak para wanita muda bangsawan bergaun Wah, sedang berkumpul di depan toko cendera mata. Kumpulan wanita bangsawan lain sedang berkumpul di bawah lampu minyak dengan bercakap-cakap asyik. Beberapa kuda dengan penunggangnya berjalan dengan tapak kaki anggun.

Ada anak-anak yang berlari dengan permen kapas di tangan mereka.

"Fisika," panggil Sagi dari bawah penginapan. Pria itu kini telah mengganti penampilannya dengan tukik putih panjang yang kerahnya dibiarkan sedikit terbuka. "Apa yang lo lakukan? Sibuk?"

Fisika menggeleng.

"Tidak, gue sedang melihat-lihat."

"Mau melihat kota bersama?"

Pipi Fisika mendadak matang seperti tomat. Untunglah cahaya bulan tidak terlalu menyinari wajah Fisika. Angin perlahan berhembus. Rambut hitam Fisika yang dibiarkan tergerai dibalik punggung mendadak tertiup angin.

Sagi yang melihat hal tersebut. Merasa mendadak dunia telah berubah menjadi dilatasi waktu. Yaitu waktu mendadak dibengkokkan hingga ia berjalan lambat. Persamaan ini mirip dengan hukum relativitas Einstein.

Di mana waktu tidak bersifat mutlak. Tetapi relatif tergantung dari kondisi sang pengamat. Fenomena yang sedang terjadi di mata Sagi bisa terjadi oleh dua hal. Pertama, kecepatan yang sangat tinggi mendekati kecepatan cahaya dan kedua, berada di daerah dengan medan gravitasi yang tinggi.

Yap, fenomena yang Sagi rasakan. Barangkali akibat fenomena bahwa jantungnya berdegup kencang akibat adegan yang membuat matanya terpana. Barangkali juga, semua hal akan mengalami dilatasi waktu jika melihat orang yang disukai. Rasa-rasanya waktu seolah melambat atau berhenti karena dunia hanya milik berdua, sedangkan yang lain hanya menumpang untuk bernapas.

Sagi mengedip dan bayangan Fisika pada balkon di lantai tiga telah lenyap. Sebagai gantinya, wanita itu sudah turun dengan kemeja biru yang lengannya digulung sampai lengan dan ia menggunakan celana jins panjang serta boot cokelat.

Sagi menatap semua itu dari ujung kaki sampai ujung rambut Fisika dalam sekali tarikan napas.

"Kita ke toko buku yuk? Baginda pasti sudah berjalan berkeliling."

"Toko buku ya?" sahut Sagi. "Mau mencari buku fisika?"

"Ya ampun, Baginda!" Fisika menepuk jidatnya. "Ya kali, di negeri seribu sihir mau cari buku fisika. Gue mau cari buku sihir. Ayo tunjukkan jalannya."

Fisika memilih melangkah lebih dahulu. Sagi masih diam di tempat. Tetapi pandangan matanya mengikuti langkah Fisika. Hingga perlahan-lahan, ia pun sudah berjalan di samping wanita tersebut.

.
.
.

Toko Buku Seribu Musim adalah toko yang ditunjukkan Sagi kepada Fisika. Tetapi sebelum mereka masuk. Fisika mengajak Sagi untuk berbicara di depan toko dengan gelagat yang mencurigakan.

"Emm, Baginda. Gue boleh pinjam koin emas tidak?" tanya Fisika dengan perasaan malu luar biasa. Dia bahkan tidak sanggup memandang mata ink Sagi.

"Entar gue ganti pas sampai di Karta kok. Baginda pasti tadi ke toko permata buat menjual mutiara hitam Baginda, 'kan?"

Jantung Fisika berdetak cepat. Tidak siap jika Sagi menolak membantu. Toh, mereka berdua tidak bisa melakukan apa-apa tanpa Izar.

"Boleh," sahut Sagi kalem. Mata cokelat Fisika berbinar cerah.

"Sungguh Baginda? Baginda mau meminjamkan gue uang?"

"Ya, 10 keping emas. Apa cukup?"

Sagi menarik keluar kantung uangnya dari dalam tas kecil di gespernya. Fisika membuka kedua tangan dengan senyum yang terus melebar. Setelah menyimpan uang tersebut. Fisika lantas memeluk Sagi dengan kencang. Lalu masuk ke dalam Toko Buku Seribu Musim.

Wanita yang suka menulis di wattpad itu, meninggalkan Sagi yang terbelalak tidak percaya.

.
.
.

Toko Buku Seribu Musim memiliki segala hal yang bisa dijumpai. Fisika memeriksa tiap rak dengan cermat. Setiap sampul buku memiliki ilustrasi yang cukup unik dan indah bahkan mewah. Tetapi sayang, Fisika tidak paham dengan aksara yang digunakan.

"Kesulitan membaca?"

Jantung Fisika hampir saja mau melompat keluar. Namun untung saja, masih ada tulang rusuk yang menghalangi hal tersebut.

"Baginda!" amuk Fisika. "Baginda buat jantung gue mau copot!" Fisika menghela napas dengan kesal.

"Harusnya gue yang bilang gitu," balas Sagi dengan nada masam.

"Maksud Baginda?" tanya Fisika yang tak paham.

"Lo buat gue kesal."

"Lah? Sejak kapan gue buat Kaisar kesal?"

"Lo telah memeluk harta kekaisaran."

Fisika menelengkan kepala tidak mengerti. Dia memutar bola mata ke atas untuk berpikir. Namun karena tidak mengerti dengan maksud Sagi. Ia buru-buru mengabaikan.

"Baginda bisa bantu gue baca aksara ini? Pakai sihir atau apalah. Asal gue bisa baca. Baginda tahu, gak? Gue mau beli buku di sini buat bahan nulis untuk WB dunia fantasiku di wattpad."

Sagi menatap lekat-lekat ke dalam kelopak mata Fisika. Ia terlihat ingin mencari sesuatu. Namun hal yang ia cari justru membuat detak jantungnya terasa tidak nyaman.

Maka, tanpa diduga oleh Fisika. Sagi menggerakkan telapak tangannya menutupi kedua mata Fisika. Hingga hanya menyisakan bibir Fisika yang telah dipoles dengan lipstik merah jambu yang cukup tipis.

"Baginda?"

Bibir itu bergerak mengucapkan namanya.

"Sekali lagi," pinta Sagi. "Sebut namaku."

"Baginda?" ulang Fisika dengan kening mengerut.

Ujung bibir Sagi tertarik tipis. Lalu ia menghembuskan napasnya yang hangat ke arah telapak tangan yang ia gunakan untuk menutupi mata Fisika

Embusan napas Sagi memiliki pembiasan cahaya berkelap-kelip seperti warna galaxy yang menyerap ke dalam kelopak mata Fisika.

Wanita scorpio itu bergerak geli dan buru-buru menurunkan tangan Sagi dari matanya.

"Apa yang Baginda lakukan?!"

____//_/____//____
Tbc

Kuanta (End)Where stories live. Discover now