Chapter 16- Sinar Gamma

Start from the beginning
                                    

"Baiklah, tolong jaga dia baik-baik. Kami akan mengunjunginya besok."

Kakek Abam mengganguk takzim pada Sagi. Lalu ia menatap lekat-lekat ke arah Fisika dan sang Kaisar bergantian.

"Kalian bukan dari Bern, 'kan?"

Fisika menggeleng tidak paham.

"Kami pengelana. Kebetulan sial karena di serang Stormi di tengah perjalanan." Sagi menjawab sambil mengeluarkan sebuah kantung kecil lalu memberikan isinya pada Kakek Abam.

"Kami hanya punya mutiara hitam ini. Apa benda ini bisa digunakan untuk transaksi?"

Kakek Abam menerimanya. Mendadak, mutiara tersebut diselimuti api biru yang keluar dari telapak tangan Kakek Abam. Fisika bahkan tercekik kaget.

"Jarang benda ini ditemukan di Bern. Tapi benda ini asli." Dia membawa mutiara Sagi ke balik konter.

Merasa urusannya di sana sudah selesai, Sagi pun beranjak pergi. Tetapi tidak dengan Fisika yang penasaran dengan ramuan yang dijual di etalase.

"Kakek Abam," panggil Fisika setengah berbisik.  "Ramuan apa yang dijual di sini?"

Setelah menyimpan mutiara hitam pemberian Sagi. Pria tua itu kembali menghampiri Fisika dengan tersenyum lebar.

"Tergantung dengan apa yang Anda butuhkan, Nona." Wajah Kakek Abam menampilkan senyum yang terlihat ramah namun mencurigakan.

"Emm, apa semuanya ramuan sihir?" tanya Fisika lagi.

"Ya, ada sihir di mana-mana. Apa Nona menginginkan ramuan cinta?" Kakek Abam bergerak ke salah satu rak yang menyimpan botol ramuan dengan sumbatan gabus. Cairannya berwarna bening. Etiketnya tertulis huruf tidak dikenal.

"Ini ramuan cinta untuk menaklukkan pria yang dicintai." Kakek Abam menyodorkan botol tersebut pada Fisika.  "Terbuat dari air mata seorang manusia pilihan, ditambah dengan dua tetes air mata Fairy, sari bunga mawar putih yang diambil saat subuh dan sedikit serbut rambuk unicorn. Tertarik nona? 1 keping emas jika Anda tertarik."

Fisika tersenyum kaku. Ia meraba tas selempang pemberian Izar. Ia tidak punya keping emas, apalagi permata seperti punya Sagi.

"Ramuan menarik," ujar Fisika canggung.

"Hey!" tegur Sagi yang melongok dari ambang pintu. "Kenapa masih di situ? Ayo jalan!"

"Ah, ya," sahut Fisika buru-buru. Dia lalu balik menatap Kakek Abam. "Akan gue beli nanti."

Lalu ia bergegas mengejar Sagi yang sudah keluar dari Hocus and Pocus. Kakek Abam tampak terganggu dengan kalimat Fisika soal gue, yang dirasa penggunaannya sangatlah asing di Bern.

.
.
.

Di luar Hocus and Pocus, hujan telah reda. Langit masih menggelap dan sisa hujan membuat banyak genangan air di bahu jalan. Suhu udara masih cukup terasa dingin untuk setiap pejalan kaki.

Sekarang, banyak terlihat orang-orang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka menggunakan gaun terusan dari tunik untuk perempuan. Lalu dilengkapi dengan korset super ketat yang membungkus tulang pinggang hingga dada mereka.

"Euy," keluh Fisika mendadak.

"Ada apa?" tanya Sagi penasaran.

"Gak kebayang, harus pakai korset kayak gitu." Fisika menunjuk dengan ekor matanya. Ingin rasanya ia mengeluarkan ponselnya dan memotret kehidupan yang sedang ia lihat sekarang. Tetapi dia tidak yakin, ini akan berakhir baik.

"Itu kebudayaan," jelas Sagi. "Para wanita bangsawan biasanya harus menggunakan itu sehari-hari."

"Untunglah gue bukan wanita bangsawan. Kalau gak, gue bakal tersika."

Sagi tampak tercengang menatap Fisika yang berjalan di sebelahnya. Beberapa hari mengenalnya, membuat Sagi bisa menilai bahwa sahabat Izar ini adalah wanita yang pola pikirnya sulit di mengerti.

"Baginda," panggil Fisika tanpa menoleh pada Sagi.

"Hmm," sahut sang Kaisar.

"Bagaimana rasanya berjalan di wilayah kerajaan orang lain?"

Merasa geli dengan pertanyaan Fisika. Sagi malah tertawa kecil. Fisika yang tergelak heran, berpaling menatap Sagi dengan mata membulat sempurna.

Di bawah cahaya langit sore yang samar-samar mengintip dibalik awan. Wajah Sagi yang sedang tersenyum disinari serambut lembayung. Ini membuatnya terlihat sangat maskulin dan manis di pelupuk mata cokelat Fisika.

Jantung Fisika yang terkoneksi dari mata turun ke hati. Membuat denyut jantung perlahan-lahan menaikkan intesitas ritmenya.

"Baginda," lirih Fisika dengan wajah terpana tanpa berkedip. "Baginda mau gak? Jadi cogan fiksi gue?"

___/_/___/____
Tbc

Kuanta (End)Where stories live. Discover now