Lukisan Mana yang Kaupilih?

102 22 68
                                    

"Kesunyian bukanlah lawan, Arin. Dan suara-suara di dalam kepalamu itu sebenarnya berada di bawah kendalimu, bukan sebaliknya."

●●●

"Sepertinya ini lukisan terlama yang kau selesaikan." Ibu memberi komentar. Kanvas mini yang ia genggam menyuguhkan objek kelewat abstrak-entah berupa telur, matahari, atau malah bukan keduanya. Masalahnya, aku sendiri tak tahu objek apa yang kulukis itu.

Memang, sudah lebih dari satu minggu lukisan mentah itu tak kusentuh. Aku menelan ludah. "Ya ... aku sedang kurang bersemangat melukis, Bu."

"Mungkin kau perlu melakukan kegiatan lain, Rin. Hobi sekalipun memiliki titik jenuh, tapi bukan berarti kau tak bisa menggeluti hal itu lagi." Ia menjawil ujung hidungku sebelum bangkit berdiri. "Percayalah, ibu pernah bosan menjahit. Bosan sebosan-bosannya, tapi ibu malah menemukan hobi baru yaitu bertanam."

"Juga bermain teka-teki silang!" tambahku. Ibu lantas mengiakan.

Seakan teringat sesuatu, ia menghentikan langkah di ambang pintu kamarku.

"Bagaimana kalau kita sedikit berandai-andai?" tanyanya. Ditatapnya dinding di sisi selatan kamarku. Beberapa kanvas berbagai ukuran yang telah rampung kulukis tergantung rapi di sana.

Aku mengerutkan dahi dan menoleh padanya.

"Seandainya salah satu karyamu hidup, lukisan mana yang kau pilih?"

Aku menggigit bibir. Cukup sulit bagiku untuk memilih. Kebanyakan berupa pemandangan-sawah, pantai, pepohonan, juga gunung. Jarang sekali aku berminat untuk melukis manusia. Kalaupun ada, hanya sebatas siluet.

Jari telunjuk kananku terangkat seiring garis bibirku yang kian melengkung ke bawah. "Itu, Bu. Lukisan 'Anak Pantai'."

Ibu mendekapku sekilas. "Pilihan yang bagus, Arin. Ayo kita makan malam."

"Ayo!" ujarku bersemangat.

Kami berdua tertawa. Syukurlah kami tak perlu membahas lukisan itu lagi. Kurasa aku benar-benar sedang buntu ide sejak pekan lalu. Lagipula, bukankah semua pegiat kreasi pernah mengalaminya? Seharusnya ini tak terlalu buruk dan fase ini pasti akan segera berakhir.

Memang sih, segala sesuatu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Faktanya, kebuntuan ini jauh lebih buruk dari yang kukira. Kalau tidak, tak mungkin aku menangis lebih dari dua kali sejak tempo hari hanya karena masalah ini, kan? Itulah kenyataannya.

Sejujurnya aku juga lelah menampakkan topeng sebagai Arinda-si-gadis-tegar di hadapan ibu. Aku ingin berkata apa adanya, tapi di saat yang sama aku tak ingin ia khawatir.

Sudahlah, coba hobi lain saja, ujar satu suara di dalam kepalaku.

Hahaha. Begini saja kamu cengeng. DASAR CEMEN! Suara lain bergema sama lantangnya.

Mungkin bakatmu bukan melukis, Arinda. Kamu terlalu memaksakan diri.

Kamu payah, Arinda. Kamu selalu payah!

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak. Ini tak boleh terjadi lagi! Kalau sudah begini, mungkin nanti aku akan tidur bersama ibu saja ....

Suara denting genta angin[1] menyedot perhatianku. Kugerakkan kedua kakiku menuju kamar guna memastikan.

Tunggu. Kenapa aku merasa rambutku tertiup angin, ya?

Kuangkat sebelah tanganku. Lho, rambutku kini tertiup lebih kencang! Padahal semua jendela di rumah ini sudah ditutup. Ini angin dari mana?

Demi Tuhan, aku sulit memercayai apa yang kusaksikan. Angin itu ternyata bukan berasal dari jendela, tetapi dari salah satu kanvas berukuran sedang yang tergantung sejajar dengan kepalaku.

Lukisan Mana yang Kaupilih?Where stories live. Discover now