BAB 4 -- A GROOM WITH A BLACK MASK

27 7 1
                                    


Kini tidak ada lagi keriangan kalau aku akhirnya menikah.

Yang ada justru rasa was-was.

Aku seperti menjadi anak domba yang akan dipersembahkan untuk serigala.

Ketika akhirnya aku berdandan dengan memakai gaun pengantin putih, aku merasa pantulan di cermin itu bukan Zya, melainkan memang domba kecil berbulu putih.

Hari ini bukan hari pernikahanku, melainkan hari kematianku. Ternyata setelah hampir 18 tahun aku hidup menderita dibawah tirani keluargaku yang menyiksaku secara mental, kini aku harus menghadapi cobaan baru.

Menikah dengan orang yang tidak dikenal itu berat untuk semua perempuan.

Aku justru mendapatkan lebih dari sekedar menikah dengan orang asing. Calon suamiku ini adalah putra pemberontak negara yang sudah 30 tahun tidak berhasil ditumpas!

Negosiasi Ayah sepertinya anti-mainstream.

Belakangan Ayah menjelaskan kalau aku hanya "satu" dari syarat negosiasi yang beliau lakukan. Pada dasarnya kelompok ini minta banyak hal.

Ayah termasuk orang yang percaya kalau pakta perjanjian akan kuat bila melibatkan pernikahan. Itu jadi jaminan kalau dia serius karena rela menikahkan salah satu putrinya dinikahkan dengan anak kepala pemberontak.

Sayangnya para pemberontak tidak tahu kalau Ayah lebih licik. Beliau justru menyerahkan putrinya yang paling "tidak berguna" untuk mereka.

Kalau saja kelompok ini tahu.... Aku ngeri membayangkannya.

Waktu yang menakutkan itu tiba.

Ibu mengiringku ke tempat acara pernikahan yang ternyata cuma dihadiri segelintir orang. Kebanyakan dari mereka orang yang tidak kukenal dan semuanya membawa senjata!

Aku tidak tahu mana orang-orang Ayah dan mana orang-orang calon suamiku.

Belakangan aku tahu kalau yang hadir memang semuanya orang calon suamiku. Ayah dengan berani memutuskan tidak memakai anggota militer atau polisi mengamankan rumahnya.

Ini juga jadi trik Ayah untuk meningkatkan kepercayaan pada kelompok ini kalau dia bermaksud baik, meskipun penuh risiko. Yang aku tidak habis pikir, kok bisa mereka wara wiri dengan senjata, sementara ini adalah ibu kota negara, dan rumah ayahku adalah rumah dinas menteri.

Tetapi apa sih yang tidak mungkin?

Aku didudukkan di samping seorang lelaki yang tubuhnya bahkan setengah dari tubuhku!

Sangat besar!

Dia calon suamiku.

Aku tidak tahu apa tubuhku yang kelewat kecil karena sering sakit, atau lelaki itu yang kelewat tinggi dan tegap.

Lebih anehnya lagi calon suamiku itu hanya memakai pakaian hitam-hitam dengan sebo di wajahnya. Sangat kontras dengan aku yang memakai gaun putih. Pakaian dan penutup wajah itu langsung membuatku terintimidasi juga khawatir.

Apakah yang kunikahi ini orang yang sama dengan orang yang akan menghabiskan hidup denganku?

Sepertinya kelompok pemberontak tidak ingin wajah calon suamiku itu diketahui orang!

Acara pernikahan dimulai.

Cuma lima menit selesai. Aku yakin yang menikahkan kami juga terintimidasi dengan kelompok ini. Caranya memberikan wejangan pernikahan dan bimbingan terdengar gemetar.

Sedangkan Ayah justru tenang-tenang saja.

Kami kini resmi menjadi suami istri.

Aku melirik ke lelaki di sampingku yang ternyata juga sedang memandangku dari mata hitam yang tidak tertutup sebo.

Aku langsung menunduk ketakutan.

MENGEJAR ANGIN KE TIMURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang