5

1.6K 182 4
                                    

Ashel POV

Penyesalan memang selalu datang terakhir. Mungkin lain waktu aku sendiri akan lebih berhati-hati lagi dalam berucap. Niatku tadi hanya bercanda. Sial! Yang terjadi malah raket Adel benar-benar patah. Bahkan dia juga memberikan bukti bahwa raket miliknya itu rusak.

Aku merasa bersalah.

Semalam setelah Adel mengakhiri video call. Aku sadar wajahnya tampak begitu kesal, beberapa kali sikap yang dia tunjukan juga menegaskan bahwa dia tak senang dengan apa yang dialami. Mau bagaimana lagi? Sudah terjadi. Tapi, mungkin itu juga teguran Tuhan atas ucapanku. Jadi aku harus bertanggung jawab atas hal tersebut.

Sebagai permintaan maaf, siang ini aku pergi ke rumah Adel tanpa memberi kabar sebelumnya. Rafa juga ikut aku seperti biasa. Rencananya aku mau ajak Adel beli raket baru. Kata bapak supir dia tau tempat beli alat olahraga yang bagus. Soalnya Pak Aji suka olahraga juga sih setauku.

"Kacel kita pegi kemana?" Tanya Rafa padaku. Aku tau dia pasti berharap aku mengajak ke tempat bermain. Harapan semua anak kecil saat diajak pergi ke tempat lain.

"Beli raket buat main badminton," jawabku. Dia seperti berpikir atas jawaban yang ku beri padanya. Padahal aku tau dia sebenarnya tidak pernah mendengar kata 'badminton'.

"Oh main aminton," aku tertawa mendengar ejaan ulang yang dia sebut. Terkadang anak 3 tahun itu super super menggemaskan.

"Rafa emang tau?" Tanyaku lagi. Dia malah tertawa, menggeleng hingga tubuhnya oleng. Untung aja ga jatuh ya bund...

"Ga tau ternyata, nanti kalo udah tau minta diajari Adel," jelasku. Dia masih saja tertawa receh.

Keluar dari mobil, aku gendong Rafa masuk ke rumah Adel. Wajah Adel jadi berubah, dari jauh tadinya datar-datar aja. Cuma waktu aku sampe dan dia lihat aku dahinya langsung mengkerut. Mungkin karena aku tidak menghubungi dia sebelumnya.

"Ngapain kesini?" Adel kayaknya sih masih kesel gegara semalem. Kalo marah lama juga sih dia, jadi serem.

"Mau ganti raket kemaren, siap-siap gih," jawabku.

"Ga, sibuk. Nenek gue siapa yang jaga kalo gue sama Lo?" Jawaban ketus yang cukup membuatku sedih. Aku mencari alasan yang bisa ku lakukan. Untungnya aku mengingat satu hal yang bisa kuberikan.

"Nenek ntar taruh kursi roda," bujukku. Dia menoleh ke dalam, lalu kembali melihat ke arahku.

"Ga usah ngada-ngada, rumah gue ga ada kek gituan," balasnya. Huft, semarah itukah Adel sekarang sampe jawabannya harus banget pake nada ga enak di denger.

"Di mobil tuh ada punya Oma," bujukan kesekian kalinya.

"Ga, gue males keluar,"

Rasanya aku ingin menangis, pelupuk mataku seperti penuh. Bahkan mataku juga terasa pedas. Tolakan yang sangat menyakiti. Sebenarnya yang salah dia atau aku? Menyebalkan.

"Kacel.... Kakkk.... Kacelll... Kapan main aminton nya?" Rafa malah ikut-ikutan bahas itu. Yang diajak aja malah nolak.

"Emang kamu bisa?" Tanya Adel dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. Iri, aku diperlakukan beda. Aku tau aku salah, tapi tidak dengan omongan bernada kasar seperti tadi.

"Ga bisa xixi," Rafa kembali tertawa, dia hanya tersenyum sembari mengusap kepala Rafa.

"Ga usah nangis," ucap Adel padaku. Kemudian pergi membelakangiku. "Masuk dulu," lanjutnya tanpa menoleh lagi ke arahku.

Aku masuk, menaruh Rafa di sofa menunggu Adel yang cukup lama di dalam. Mataku hanya berjaga-jaga memastikan Rafa tidak merusak barang yang ada disini. Anak kecil tangannya memang suka bikin ulah, jadi aku cukup berjaga-jaga.

Unexpected IIWhere stories live. Discover now