Arrival

9 1 0
                                    


Pernah bertanya-tanya jika ada beberapa kehidupan lain selain yang kita lihat?Bagaimana jika kita yang dikehidupan ini bukanlah siapa-siapa. Namun bisa menjadi peran penting bahkan peran utama dari kehidupan dimensi lain?
Para ahli kuantum menyebutkan bahwa terdapat parallel universe atau dunia paralel. Teori dunia paralel bisa dijelaskan sebagai kehidupan manusia beserta alam semesta secara bersamaan satu sama lain. Kemungkinan masing-masing dunia tidak menyadari kehadiran dunia lainnya dan tidak ada yang dapat memastikan dunia mana yang sebenarnya nyata.

Nomor Urut : 15
Nama : Alberto
Status : Leader


CHAPTER ONE: _ Arrival _ _



“Dia seorang perempuan?”

“Benarkah? Kenapa bisa seorang perempuan ditubuh laki-laki?”
Alberto menghela napas ketika kesadarannya kembali, ia berdiri dari kursi besar yang dipenuhi dengan peralatan ‘eksekusi’, untuk membongkar kehidupan masa lalu mereka yang duduk di sana. Ia sudah yakin jika semua orang sudah melihat masa lalunya, kehidupannya yang dulu— tidak bisa dibilang kehidupan masa lalu juga karena itu seperti kejadian beberapa menit yang lalu.

Alberto merasa ia masih berada di rumah sakit dengan infus yang tertancap ditangan kirinya. Ia yakin beberapa menit atau beberapa jam lalu dia masihlah perempuan. Beberapa jam yang lalu, ia masih merasakan bahwa dirinya tak pantas untuk hidup karena tidak peka terhadap apa yang dialami oleh sahabatnya. Dirinya masih syok ketika mengingat bahwa Jinny, sahabatnya sejak kecil sudah tiada akibat gantung diri. Dia merasa bersalah karena tidak sadar bahwa Jinny membutuhkan uluran tangan dan pelukan dari orang di sekitarnya.

Kini Al—sebut saja ia dengan panggilan itu sekarang, menjadi sosok baru yang terbelenggu ditubuh seorang pria. “Tapi, dia tampan.” Salah satu gadis yang ada di sebelah kiri berkomentar.

Al memilih untuk tak memedulikan ucapan gadis itu, pandangannya terfokus pada beberapa orang yang tiba-tiba muncul di atas kursi kosong yang ada dalam aula ini. Ada yang sudah mengerjapkan mata dan ada yang masih tak sadarkan diri. Setidaknya dia bersyukur karena orang-orang yang baru saja diculik oleh alien atau apa pun itu tidak menonton cuplikan kehidupannya tadi. Ya, walaupun ia yakin sebagian yang melihat tadi pasti akan menyebarkannya juga.

Al sendiri masih belum paham, apa sebenarnya tempat ini? Kenapa ia tiba-tiba berada di sini dengan tubuh baru? Dia memperhatikan tempat ini lebih jelas lagi. Lantai ruangan didominasi dengan warna abu dan biru, ada desain lingkaran memutar di bagian tengah ruangan. Saat melihat ke arah langit-langit gedung, desain serupa menghiasi atap dengan warna biru muda di sana.

Terdapat tulisan ‘Smart City D-Unicom’ yang bergerak memutar di antara sisi dinding dan tepat di tengah langit-langitnya setelah lingkaran tadi, terukir logo berbentuk ‘D’ berwarna biru elektrik yang menyala ditambah lampu-lampu terang yang memutarinya.

“Nomor urut 64.” Ya, terdengar suara sistem komputer mirip seperti suara asisten google yang memanggil nomor urut 64 untuk maju ke depan. Tidak ada orang lain di depan sana selain beberapa orang yang duduk di kursi yang telah disediakan, dan tentu saja mereka juga sepertinya bukan tuan rumah tempat ini kalau dilihat dari ekspresinya. Al sepertinya sudah hapal dengan ekspresi itu, ia sudah terbiasa melihat wajah-wajah kebingungan dan juga panik yang ditunjukkan oleh orang-orang selama berada di ruangan ini.

Nomor urut 64 sudah melangkahkan kakinya menuju kursi ‘eksekusi’. Kenapa dibilang begitu? Karena lihat saja, kursi besar itu dilengkapi dengan alat untuk menahan tangan orang yang duduk di sana. Pinggiran kursinya akan memborgol kedua lenganmu ketika alat yang mengeluarkan uap dengan bentuk seperti alat bantu oksigen di rumah sakit itu menghampiri wajah kita.

Tidak, bukan oksigen. Ini lebih tepatnya disebut waktu untuk memberikan sentuhan anestesi lokal untukmu, dan bersiaplah! Sistem akan membaca seluruh riwayat hidupmu dengan baik tanpa harus kamu cantumkan dan kamu kirim melalui surel.

Benar, ini sangat melanggar privasi.

Tolong, laporkan ini ke polisi! Itupun kalau kamu tahu cara keluar dari gedung ini.

Prok.. prok.. prok..

Semua bertepuk tangan saat melihat cuplikan Zayn dari nomor urut 64, ia seorang leader juga. Ya, sama seperti Al kalau dilihat dari secarik kertas biodata yang dia pegang. Perbedaan mencoloknya, Zayn seorang atlet tinju dan dia bukanlah seorang perempuan di kehidupan lamanya. Pria dengan rambut cepak itu cukup handal, ia bahkan mencontohkan beberapa tinjuan sebelum kembali ke kursinya.

Al sempat melirik barisan kursi belakang di sebelah kanan, ada satu gadis baru saja muncul di kursi yang tadinya kosong itu. Ia mengerjap dan memperlihatkan wajah kebingungan. Mungkin itu juga yang kulakukan pertama kali saat baru datang ke tempat ini, pikirnya.

Al terpana dengan mata bulat indah gadis itu, mirip seperti Jinny. Sahabatnya itu memiliki mata bulat yang indah juga, namun mata indah itu terkadang terlihat memiliki luka yang cukup dalam. Luka yang Al sendiri tak tahu, yang selama ini Jinny sembunyikan dari semua orang. Tatapan penuh luka itu juga dimiliki gadis yang baru saja datang di kursi belakang sebelah kanan. Jika ini kehidupan kedua Al, apakah dia adalah Jinny kedua juga?

Pandangan Al kemudian teralih ke gadis dengan nomor urut 65.

“Nomor urut 65.”

Seorang gadis dengan tubuh tinggi kurus berdiri. Berbeda dengan yang lainnya, gadis itu terlihat mengantuk dan beberapa kali menguap. Wow—akhirnya kita mendapatkan si paling santai di antara wajah-wajah tegang dalam ruangan ini. Ia melangkah dengan santai seraya kedua tangannya diselipkan ke saku celana. Ketika tubuhnya berbalik dan duduk di kursi itu, ia memandang seluruh orang yang memperhatikannya dengan tatapan tak acuh.

Satu matanya tertutup poni menyamping, rambut pendek gadis itu hampir mirip potongan rambut laki-laki, sepertinya ia juga lupa menyisir karena kini rambutnya terlihat berantakan namun tetap indah dengan warna perak yang sangat cocok untuknya.

Al memperhatikan gadis itu, ia terlihat tenang ketika memejamkan mata saat alat itu bekerja. Di belakang kursi, terdapat layar besar seperti videotron raksasa. Besarnya seukuran lebar dinding ruangan ini. Di sana tertera data yang diakses ketika gadis itu mulai tak sadarkan diri.

Nomor Urut : 65
Nama : Dominique
Status : -



Muncul beberapa cuplikan tentang gadis yang wajahnya diburamkan. Cuplikan selanjutnya menunjukkan bagaimana ia selalu dibandingkan dengan saudaranya, bahkan ibunya beberapa kali tak segan memukul gadis itu di depan umum. Beberapa orang yang ada di sana menatap gadis itu dengan tatapan iba ketika kesadaran Dominique kembali bersamaan dengan berhentinya cuplikan yang diyakini adalah masa lalunya.

Dominique terlihat menghela napas, “Aku tahu kalian pasti melihatnya. Tidak perlu menatapku seperti itu, biasa saja.” Ia beranjak dari kursi dan kembali ke tempatnya setelah menyisir poninya yang berantakan.

“Nomor urut 66.”

Gadis itu berkulit agak gelap, bermata hitam senada dengan warna rambutnya yang ikal. Ia terlihat tenang ketika melangkah menuju kursi ‘eksekusi’ itu, namun setelah sampai di sana, ia segera menendang kakinya ke pinggiran bawah kursi. Entah apa yang ia pikirkan namun setelahnya ia menjerit, “Aw!—” lalu berdehem dan mencoba untuk tenang kembali, “—benar, bukan mimpi.” Gadis itu berbisik, namun sudah dipastikan tidak ada yang mendengarnya kecuali sistem komputer di ruangan ini—mungkin.

Ia kembali menaikkan dagunya bak seorang putri yang akan duduk di singgasana. Kedua lengannya diletakkan di pinggiran kursi sampai borgol menahan kedua lengan gadis itu. Ia memejamkan mata dan layar di depan sana mulai memproses datanya.

Nomor Urut: 66
Nama : Madison
Status : -



Terlihat seorang wanita yang tentu saja wajahnya diburamkan, mungkin ini untuk menunjukkan bahwa sistem juga sedikit memberikan ruang privasi untuk orang-orang di sini. Ya, walaupun tetap saja kisah masa lalu mereka dipertontonkan walau tanpa mengenali wajahnya.

Al mengangguk ketika melihat cuplikan dari Madison, ia lalu mencatat Madison di kertas belakang. Al berpikir jika ia menjadi seorang pemimpin maka ia butuh anggota yang bisa diandalkan. Dibalik sikap angkuh Madison, Al rasa ia bisa diandalkan karena gadis itu seorang pemimpin perusahaan di kehidupan lamanya. Mungkin saja Al bisa belajar tentang kepemimpinan dari Madison, ‘kan?

“Nomor urut 85 kembali ke kursimu!” Suara perintah sistem komputer langsung membuat seorang gadis berlari kecil untuk kembali ke kursinya.

Pandangan Al melirik kembali ke belakang ketika sistem menegur seseorang. Gadis yang sempat diperhatikan oleh Al tadi ternyata yang sedang ditegur. Al tersenyum kecil lalu mencatat nomor 85 dikertasnya untuk menjadi pengingat bahwa gadis itu akan menjadi anggota timnya nanti.

“Nomor urut 67.”

Kali ini seorang pria. Pria itu tampak tersenyum lebar ketika ia berdiri dan terpana melihat kedua kakinya. Beberapa kali pria itu menepuk kedua kakinya, dan menganga ketika mendapatkan fakta bahwa kakinya tidak kebas. “Whoa!” Satu kata itu membuat seluruh orang kebingungan dengan tingkahnya.

Tidak sampai di situ, pria itu melakukan tarian tap dengan wajah gembira yang terlihat menggemaskan walau sedikit aneh sebetulnya.

“Nomor urut 67.” Sistem kembali memanggilnya dan membuat pria itu berhenti menari diputaran terakhir yang ia tunjukkan.

“Oh, aku hampir lupa, hehe.” Pria itu menunjukkan cengiran lebarnya setelah mendengar nomor urutnya dipanggil kembali. Ia melangkah dengan wajah berseri, sesekali ia sengaja menggerakan kakinya seperti menggeser dengan gaya seakan kembali menari tanpa musik yang terdengar.

“Terimakasih.” Dia berucap pada kursi besar yang penuh alat itu lalu duduk dengan masih menunjukkan senyum bahagia yang terpatri diwajahnya.

Nomor Urut : 67
Nama : Gavin
Status : -



Setelah ia memejamkan mata, layar menunjukkan seorang pria yang sedang dalam masa pelatihan. Ia suka menari dan belajar menyanyi di sana. Semua orang tak heran tentu saja, bahkan pria itu memang sudah menunjukkan keahlian menarinya tadi.

Namun—

Brak..

Seluruh orang di sana mendadak terkejut dan wajah mereka terlihat tegang ketika melihat cuplikan selanjutnya yang memperlihatkan pria itu tertabrak mobil dan kedua kakinya terluka akibat kecelakaan itu.

“Awas!” Reflek Al berucap memperingati seseorang yang ada di layar monitor, walau tentu saja itu tidak akan ada gunanya.

Beberapa menit kemudian terlihat cuplikan di mana pria itu memakai kursi roda dan menatap orang-orang yang sedang berlatih menari. Seluruh orang menundukkan kepala setelah layar di depan sana kembali gelap bersamaan dengan Gavin yang sudah sadar. “Hey, tenang! Aku sudah bisa berjalan,” Gavin langsung melompat dari posisi duduk dan kembali melangkah menuju tempat asalnya namun ia melupakan sesuatu. Pria itu segera berbalik dan mengambil secarik kertas biodata miliknya. Membaca sekilas nama yang tertera di sana, “Gavin, halo Gavin.”

Al memperhatikan bagaimana Gavin terlihat bahagia dengan tubuh barunya. Jika memang tempat ini dikuasai oleh alien, maka Al akan memuji alien itu karena telah mengembalikan kebahagiaan untuk pria dengan senyum cerah itu.

“Nomor urut 85.”

Al reflek melihat ke arah gadis yang memang sudah ia catat nomor urutnya di kertas miliknya. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri, seakan mencari pertolongan kepada setiap orang yang berada di dekatnya, namun sepertinya nihil karena mereka semua juga orang yang membutuhkan pertolongan.

Akhirnya gadis itu menghela napas dengan pasrah dan berdiri, kedua kakinya melangkah mendekati kursi keren namun mengerikan itu. Setelah langkah terakhirnya menuntun gadis itu ke dekat kursi, ia pun duduk di kursi itu dengan kedua tangannya yang sudah diborgol dan memejamkan mata ketika merasakan asap dingin mengenai wajahnya. Ia menggelengkan kepala seakan tidak mengizinkan sistem membaca masa lalunya. Al paham, karena Al sendiri merasa sistem itu sungguh keterlaluan.

Namun, perlahan kesadarannya  hilang dan digantikan dengan gelap juga keheningan.

“Miley.”

“Miley.”

“Just Miley!?” Kini suara sistem berubah menjadi suara pria yang menggema dari speaker ruangan ini.

“Sekali lagi!” Pria itu berteriak ketika sang gadis membuka matanya dan dia membulatkan mata ketika hidung dan mulutnya kembali dibekap oleh alat itu, lalu—hening juga gelap kembali.

“Miley.”

“Miley. Miley. Aku sudah tahu namanya Miley! Kenapa mesinnya tidak bekerja? Sekali lagi!”

Beberapa orang yang ada di ruangan nampak kebingungan melihat kejadian ini. Hanya Miley yang tak bisa terbaca dan layar hanya memunculkan data nama saja, berbeda dengan yang lainnya. Ini aneh, ada apa dengan Miley?

Lalu, siapa pria yang terdengar suaranya di speaker? Pasti ia pemilik tempat ini dan hanya dia yang bisa memberitahu alasan kenapa mereka dikumpulkan di tempat ini.

Al melihat wajah Miley yang seakan tersiksa dengan alat itu. Ingatannya kembali pada kejadian sebulan yang lalu.

Gadis dengan rambut sebahu itu tengah menyiapkan kejutan untuk sahabatnya yang berulang tahun hari ini. Getar ponselnya membuat aktivitas gadis itu terhenti dan terdapat raut wajah panik ketika membaca layar ponsel menunjukkan nama sahabatnya. “Astaga—mati aku! Mana belum selesai,” ucapnya, Ia pun memilih untuk mengangkat telepon tersebut dan berusaha tenang, “Jinny, kenapa kamu telepon?”

“Aku sudah di depan kelas kita. Kamu di mana?”

“Aku—sebentar!” Oke, gadis itu mulai panik.

“Reshta, kamu sedang apa, ‘sih?”

Langkah kaki gadis yang ada di seberang sana terdengar lebih dekat dan berakhir dengan ketukan di pintu kelas kosong yang disulap menjadi ruang private party oleh Reshta. “Aku tahu kamu di sini, Resh.”

Yang memberi kejutan hanya bisa menghela napas lalu melangkah menuju pintu dan membuka pintu yang sedaritadi terkunci. “Surprise! Happy Birthday, Jinny!” Reshta masih menempelkan ponselnya ke telinga dan menyapa sahabatnya seraya menunjukkan senyuman cerah.

Mata bulat Jinny menyipit dengan senyuman yang terpatri indah diwajahnya. Jinny memeluk tubuh sahabatnya dan mengucapkan kata terima kasih dengan suara lembut, “Terima kasih, kamu memang teman terbaikku.”

“Kuenya belum datang. Kamu terlalu cepat datangnya, sih!” ucap Reshta dan dibalas dengan kekehan gemas dari temannya.

“Tidak perlu kue, kamu sudah ingat hari lahirku juga sudah menjadi hadiah spesial untukku.”

“Tidak! Aku harus mengambil kuenya, aku menabung untuk membelikan kue cokelat kesukaanmu, lho.”

Jinny tampak tidak memedulikan ucapan Reshta dan memilih memperhatikan dekorasi yang temannya siapkan untuk merayakan hari lahirnya. Tangan mungil gadis itu menyentuh balon-balon berwarna pink dan biru—warna kesukaannya, dan tersenyum ketika membaca tulisan ‘Happy Birthday, Jinny.’ Yang ditempel dengan kertas karton ke dinding.

“Jinny, aku ambil kuenya dulu, ya?”

Sang empunya nama menoleh dan menatap wajah sahabatnya dengan tatapan sendu. Entah apa yang dipikirkan Jinny, namun batinnya seakan tidak ingin melihat sahabatnya pergi. Sahabat satu-satunya yang selalu menemani gadis itu sejak usia tujuh tahun.

“Eum, iya. Jangan lama-lama, ya?”

“Oke!”

Baru selangkah Reshta keluar dari pintu ruangan itu, suara notifikasi ponsel Jinny terdengar. Ia membuka chat yang baru saja sampai dan tangannya gemetar setelah membaca pesan itu. Mata bulat indahnya mendadak menjadi sendu, perasaannya kali ini terasa hancur dan sulit dijabarkan lagi. Jinny lelah, dia benar-benar lelah. Ia butuh istirahat, dan mungkin saat ini adalah waktu yang tepat. Jinny menatap tulisan ‘Sweet 17’ yang tertera di bawah kata ‘Happy Birthday’ tadi, ia tersenyum miris dan mengepalkan tangan kirinya sementara tangan kanannya menggenggam kuat ponselnya.

“Aku harus menyerah diangka 17?”

Jinny menatap pintu yang kini sudah tertutup kembali dengan air mata yang sudah mengalir karena tak sanggup membendungnya lagi.

“Aku sudah berusaha, Resh.”

Sementara Reshta sudah mengayuh sepedanya untuk mengambil kue ulang tahun. Ia berlari setelah memarkirkan sepedanya untuk buru-buru mengambil kue pesanan ditoko kue. “Kue pesanan Reshta Rhodestra,” ucap Reshta ketika bertemu penjaga toko. Beruntung hari ini tidak perlu mengantre karena masih terlalu pagi.

“Kue untuk temanmu, ‘kan? Beruntung sekali dia memiliki teman sepertimu,” ucap wanita dengan Apron dan Bakery Chef Hat.

“Terima kasih, aku harus segera kembali. Dia pasti tidak sabar makan kue cokelat kesukaannya.” Reshta berjalan dengan cepat namun tetap hati-hati karena harus menjaga kue ulang tahun yang ia pesan. Setelah menaruhnya dengan hati-hati ke keranjang sepeda, ia mengayuh kembali sepedanya untuk kembali ke sekolah.

Kebetulan hari ini hari sabtu, tidak ada kegiatan sekolah kecuali kegiatan ekstrakurikuler. Jadi, Reshta bisa leluasa memakai kelas kosong yang memang tidak terpakai selama ini untuk dijadikan private party ulang tahun Jinny. Berbanding terbalik dengan Reshta yang supel, Jinny memang gadis yang tidak terlalu pandai bergaul, bisa dibilang teman satu-satunya hanyalah Reshta. Karena itu ia sengaja menyiapkan pesta tanpa mengundang siapapun agar Jinny merasa nyaman.

Ketika Reshta melangkah di tangga kelima, kakinya hampir saja terpeleset. Beruntung ia sigap dan tangan kirinya berpegangan di sisi dinding dengan tangan kanan yang tetap menggenggam erat bungkusan kue yang ia beli. “Untung saja aku tidak jadi terjatuh. Bahaya, kuenya bisa rusak.” Dia bergumam pelan dan melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas tempat ia akan merayakan ulang tahun Jinny. Sudah dipastikan Jinny kini menunggunya dan pasti akan mengomel jika Reshta terlalu lama.

“Jinny, ini kuenya. Kamu menunggu—” ucapan Reshta terhenti ketika matanya memandang kedua kaki yang sudah melayang dengan kursi yang sudah jatuh ke depan.

“Jinny…” pandangan Reshta perlahan ke atas, berharap jika ini bukan tubuh sahabatnya. Walau Reshta masih ingat betul pakaian yang dipakai sahabatnya tadi. “Jinny—tidak!” Kedua kakinya terasa lemas, ini seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak akan pernah Reshta ingin impikan.

Sahabatnya tergantung di ruangan khusus yang ia sulap menjadi ruangan pesta. Reshta bisa melihat tangan Jinny yang mengepal kuat seakan beberapa waktu lalu ia kesakitan karena sesak yang dirasa akibat lehernya tercekik.

Reshta merangkak keluar ruangan saking tubuhnya tak sanggup berdiri lagi, air matanya mengalir deras dengan suara sesenggukan yang sulit ia tahan. Gadis itu berusaha menelepon kakaknya yang berprofesi sebagai dokter dengan tangan gemetar. “Halo, kak… Tolong, datang dengan ambulance ke sekolah, juga bersama teman kakak yang polisi itu. Aku—tidak kuat untuk jalan turun tangga lagi.”

“Ada apa? Kamu kenapa?” Suara di seberang sana terdengar panik.

“Bukan aku, Jinny—” isak tangis Reshta kembali terdengar padahal ia sudah mati-matian untuk menahannya.

“Kenapa Jinny? Resh, kenapa?”

“Gantung diri.”

“Stop!” Kini suara pria berbeda terdengar membentak seseorang yang entah ada di mana.

Kesadaran Miley kini kembali pulih namun tubuhnya terlihat lemas karena alat tadi.

“Aku adalah salah satu leader!” Alberto yang berbicara, ia berbicara dengan lantang dan menunjukkan kertas yang bertuliskan ia adalah seorang leader tim. Alberto menunjukkan kertas biodatanya, bahkan ia tak malu untuk menunjukkan bahwa dulunya ia adalah seorang perempuan di dimensi lain. Untuk apa malu? Mungkin semua orang juga sudah melihat masa lalunya di layar tadi. Ini demi menyelamatkan nyawa seseorang, pikirnya.

Lagi pula, terdapat catatan yang tertera bahwa leader bisa memilih timnya sendiri dan memiliki hak penuh terhadap anggotanya.

“Aku leader, dan aku memilih Miley dengan nomor urut 85 sebagai salah satu anggota timku. Jadi, jangan sentuh anggotaku lagi!”

Borgol yang menahan kedua lengan Miley kini terbuka dan membuatnya bernapas dengan lega. Alberto menghampirinya, membantu gadis yang sudah lemah itu untuk berdiri juga mengantarkannya sampai ke kursi kosong tempat gadis itu duduk tadi.

Sementara itu seorang gadis dengan rambut hitam ikal di ujung sana segera memeriksa kertas biodatanya, mencoba membaca setiap tulisan yang tertera namun bola matanya memutar dan raut wajahnya tampak kesal setelah mengetahui tidak ada status ‘Leader’ di bawah nama Madison di kertas itu.

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

Kini waktunya untuk leader memilih anggota.

Tentu saja, Alberto sang leader tim 2 sudah memilih satu anggota. Jadi, tersisa 23 peserta yang akan dia rekrut menjadi timnya. Setelah mencapai 21 peserta, ia akhirnya memilih memanggil Madison untuk menjadi anggotanya.

“Kenapa kau tidak memilihku sejak awal? Tapi, pilihan yang bagus.” Madison si gadis berambut ikal dengan warna hitam yang cantik itu berkata dengan percaya diri.

“Seulia, Gavin, Dominique.” Alberto memanggil ketiga orang itu sekaligus sebagai penutupan timnya. “Baiklah, kini aku akan memilih wakilku.”

Jika saja semua orang tidak tahu bahwa ia adalah perempuan yang kini terjebak ditubuh atletis pria tampan, mungkin para wanita sudah menyukainya—tidak juga, nyatanya mereka tetap menyukai Alberto walau tahu kenyataan itu.

“Ayo, cepat pilih, Al!” Madison tak sabaran dan dia menaikkan dagunya ketika Alberto meliriknya sekilas, namun pandangan pria itu tertuju pada gadis berambut cokelat senada dengan warna matanya.

“Miley, kamu wakilku.”

“Hah?!”

“What!?”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 27, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Parallel MindWhere stories live. Discover now