ACT 1 - (01)

37 14 46
                                    

“Halo, Livya,” sapanya. Yang disapa menengok sebentar, Livya mengangguk dan tersenyum. “Sini, Kak Renée! Maya lagi trial masak sama Kak Aksara.”

“Yang lain mana?” tanya Renée. Livya menggelengkan kepalanya. “Mereka mah nggak bisa diandelin, Kak. Bisanya makan doang.”

“Apaan, nih? Gue merasa diomongin,” celetuk Prima yang baru turun dari lantai dua bareng Adista. Udah deket aja, padahal baru berapa jam.

“Wangi banget, siapa yang masak?” sahut Rey, tiba-tiba muncul di belakang Adista. “Itu si Aksara, tuh. Yang diem aja kayak wibu,” jawab Prima ngawur.

“Goblok. Wibu mah lo sendiri, Prim.”

Karena Rey dan Prima lagi sahut-sahutan siapa yang wibu, Adista melewati mereka berdua dengan ekspresi nggak peduli.

“Lah, May? Gue kira lo cuma bisa masak indomie,” ujarnya ke Maya. Nggak ada respon, Adista dicuekin.

“Pencitraan banget,” cibir Adista. Karena merasa nggak ada yang bisa ia ganggu, Adista ikut duduk di sebelah Renée. “Rin, lo baru di sini?” yang ditanya mengangguk dan menggeleng bersamaan.

“Aku dulu sempet tinggal di sini. Terus, beberapa waktu lalu aku denger dari berita kalau ... yah. Makanya, aku balik.” Livya tertarik dengan percakapan tersebut, maka ia mendekat dan bergabung. “Aku kira beritanya hoax.”

“Penerbangan masih jalan, Rin?” tanya Rey, tiba-tiba nimbrung. Renée menggeleng kecil. “Aku naik private jet dari Paris.” jawabnya.

“Di langit gak ada pesawat yang rutenya ke sini?” tanya Rey melanjutkan topik. “Nggak ada.” Yang lain menunjukkan ekspresi "wow". Bahkan Maya dan Aksara yang sedang memasak juga.

Memangnya kedengaran? Jelas. Kan, mereka nggak di restorannya. Mereka duduk di ruangan sebelah dapur. Lagian memang DNA tukang kepo, mau sejauh jarak diantara kita pun bakal tetap dengar.

“Lo turun dari jet di mana emang, Rin?” tanya Prima penasaran.

“Dari bandara?”

“Iya. Aku juga ketemu sama satu petugas bandara di sini, kayaknya sempet diserang zombie ... dia ngelarang aku buat masuk ke kota ini.” Prima ternganga, jujur ia nggak paham. Tapi Prima mencoba mengerti agar nggak terlihat bego.

“Keadaannya gimana, Rin? Nggak lo ajak barengan aja?” Rey masih bertanya-tanya.

“Aku nggak tahu, ya ... Petugas itu kayaknya takut banget buat keluar dari bandara.”

Merasa ada yang aneh, Prima dengan otak pintarnya mencoba bertanya pada Renée. “Lo bisa ke sini gimana, Rin? Maksud gue, gimana lo ngehindarin alien-alien itu?” Renée mengedipkan matanya berkali-kali. Ia tersenyum kecil untuk menjawab pertanyaan yang diberikan Prima kepadanya.

“Aku punya rencana.”





“Udah pada mau tidur?” tanya Maya. “Ya, iya, May. Emang kita bisa ngapain lagi kalo nggak tidur?” tanya Prima, agak sewot. Maya dengan wajah polosnya menjawab. “Gak ada.”

“Ya, kan.”

“Udah, yuk. Tidur, tidur,” ajak Adista. Ketika semuanya baru saja mau naik ke lantai dua, tiba-tiba terdengar suara kaca yang pecah.

“Anjir, apaan lagi, buset?” Rey hampir mengumpat. “Santai, santai. Gua nggak sengaja jatuhin gelas.”

Mereka terkejut melihat seseorang keluar dari dapur. “Loh, Aksara? Lo dari tadi masih di dapur?” tanya Maya.

“Iya,” jawabnya singkat. Nggak berniat memperpanjang pembicaraan. “Ya udah, sini. Udah pada naik ini,” ajaknya. Aksara mengangguk dan menyusul Maya, yang paling terakhir naik—sebelum Aksara.

“Ini anak-anak udah pada confess ceritanya, lo nggak mau cerita juga?” Maya bertanya iseng-iseng.

“Nggak seru, Maya. Kapan-kapan.” Maya tertawa mendengarnya. Ia menepuk bahu Aksara sekali sebelum memasuki kamarnya.

Good night, Aksara.”




“Duh, udah pagi aja.” Prima bangkit dari kasurnya. Mengucek matanya sudah jadi rutinitas. Masalahnya, mau buka handphone tapi baterai habis. Nggak ada listrik lagi. Tersiksa, sih.

“Perasaan baru lima menit gue tidur,” keluh Prima. “Pagi, Prima.” Mendengar suara kalem itu, ia buru-buru menoleh dengan semangat. “Bonjour, Renée!” sapa Prima, yang tiba-tiba jadi seger setelah melihat cewek cantik.

“B—bon ... oke ....”

“Yang lain udah pada turun, Prim. Ayo, kamu juga,” ajak Renée ke Prima. “Pada ngapain?” tanyanya, nggak ada clue. “Sarapan.”

“Let's go!”

Baru membuka pintu kamar, Prima dikejutkan oleh kehadiran Maya di depan pintu. “Kaget, njir!”

“Lo ngapain di depan pintu diem doang? Lagi pake winter truncheon, lo?” tanya Prima sesudahnya. Emang banyak omong ini anak.

“Gue kira lo masih molor. Buruan turun, keburu dihabisin si Rey.”

“Ini namanya fitnah, sih,” sambung Rey, nyusul Maya sambil bawa-bawa semangkuk nasi di tangannya. “Gue mau pamer sama lo, Ndut,” ejeknya ke Prima.

“SIAPA YANG GENDUT.”




“Gue baru tau lo bisa masak, May,” celetuk Adista. Maya nyengir. Dia melirik Aksara yang duduk diam sambil makan. “Thanks to Aksara. Kalo nggak ada resep dari dia, gue nggak bakal berhasil masak.”

“Apaan, sih? Pagi-pagi udah bucin. Panas gue, May,” ungkap Adista jujur. “Ya, mampus.”

“Panas-panas gini mending turu,” katanya ke Livya. “Males amat.”

“Jahat banget lo pada. Nggak temen, nih, kita?”

“Maaf, lo siapa, ya?”

“Sakit hati gue,”

Atensi mereka beralih pada makanan yang sudah tersedia di meja. Kalau di kasih makan, monyet-monyet pasti diam.

“Lo bilang, lo punya rencana, Rin?” tanya Maya memulai topik. Renée mengangguk. “Kita nggak mungkin di sini aja. Lama-lama, persediaan bahan-bahan pasti bakal habis.”

“Iya, sih. Tapi mau ke mana lagi?” Renée terdiam sejenak. Ragu-ragu ia menjawab. “Luar kota.”

“Kota ini udah terinfeksi. Kita harus cari pertolongan di luar—” sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Aksara memotong dengan pertanyaannya. “Gimana kalo di luar juga sama?” mendengar pertanyaan Aksara, Livya setuju.

“Terus, kalaupun kita harus pergi ke luar, gimana caranya? Lo tau, sekali kita keluar, kita bakal dikepung zombie,” katanya.

“Saran gue, sih, main bar-bar.” Semuanya menoleh ke Prima. Saran yang aneh, tapi Prima terlihat ingin sekali membantu. “Lo tau, nggak?”

“Enggak,” sela Rey dengan wajah ngeselin. “Diem lo.”

“Pasti ada alasannya, kenapa cuma kita-kita aja yang masih berhasil bertahan. Lo lihat di luaran sana, nggak banyak orang berhasil bertahan. Padahal, kita sama-sama tersiksa, sama-sama harus berjuang.” Ia mengambil jeda untuk bernapas.

“Sepupu gue ... salah satunya.”

“Sebelum gue ketemu sama Rey, gue berusaha survive bareng sama dia. Tapi dia gugur, demi gue.” Prima senyum, beneran senyum yang tulus. Nggak kelihatan cengengesannya sama sekali.

Merasa suasananya agak suram, Renée mengatakan rencananya.

“Temen-temen.”

“Jadi, gini ....”

90 Days; Survive in the Ruined CityWhere stories live. Discover now