"Ini nggak sepenuhnya seperti yang kamu pikirkan, Aira."

"LALU BAGIAN MANA YANG BENAR, TOMBAK? BAGIAN MANA YANG HARUS KUPERCAYA? KAMU BOHONGIN AKU SELAMA INI!"

Tak ada satu pun kata yang bisa Tombak ucapkan. Hatinya mencelos menatap perempuan di hadapannya kembali menitikkan air mata.

"Aku .... aku ..." Isakan mulai tak terkontrol. "Aku selalu menyingkirkan pemikiran burukku tentang kamu. Aku percaya kamu. Tapi yang kamu lakukan ... kamu ..."

Tangis Aira menghalangi kalimatnya. Ia menangis. Menumpahkan lagi kekesalannya yang sebelumnya ia tangisi sendiri. Aira menutup wajahnya yang sudah memerah dengan tangan gemetar. Tenaganya untuk berbicara mendadak hilang karena luapan kekecewaannya yang bertambah besar.

Tombak berdiri, dan menghampiri Aira. Pria itu berlutut, lalu memeluk erat istrinya. "Maaf," ucapnya lirih.

"Sam-sampai kapan kita begini?"

Kedua mata Tombak terpejam rapat. Tak berani membayangkan kelanjutan hidupnya di tengah keadaan yang belum bisa kendalikan.

"Aku nggak mau seperti ini, Tombak."

"Secepatnya, Aira." Pelukan Tombak mengerat. "Akan kubereskan ini secepatnya."

Tak ada kata yang terucap lagi di antara suami istri itu. Semua hal yang ada di hati mereka seolah terkubur oleh realita yang menyesakkan dada. Keduanya tenggelam dalam bentuk ketakutan yang menggerogoti hati masing-masing.

***

Tiga hari telah berlalu dengan nuansa dingin dan kaku yang terasa kental di rumah itu. Tak ada kehangatan sentuhan maupun tatapan di antara dua penghuni rumahnya. Tak ada ungkapan cinta dan kasih sayang yang tersampaikan seperti biasa. Nuansa yang asing ini mengingatkan Tombak pada masa-masa sulit saat meyakinkan Aira untuk pertama kalinya agar mau hidup berdua bersamanya. Ya, masa itu. Masa di mana Tombak belajar mengendalikan dirinya agar tak memaksakan sesuatu sesuai kehendaknya.

Namun ada yang beda saat ini. Nuansa ini menyakiti hati Tombak tiap kali memandang wajah Aira yang tertunduk. Perempuan itu tak mau menatapnya, dan menjauh tiap kali mereka bersama. Tombak tahu Aira sedang berusaha mengendalikan amarah. Tapi hal itu menyiksanya karena tak bisa menjadi sosok yang dibutuhkan istrinya, terutama saat perempuan itu nampak sakit dan tidak baik-baik saja.

"Kita ke dokter, ya?"

Aira yang baru keluar kamar mandi, hanya mengusap mulut seraya menatap Tombak di hadapannya.

"Kamu sering muntah tiga hari ini."

"Nggak apa-apa." Aira berjalan begitu saja menuju dapur.

Tombak mengekor di belakang Aira. "Nggak mungkin nggak apa-apa. Wajah kamu juga pucat, Aira."

"Ini normal."

"Apanya yang normal?"

Aira menatap Tombak lurus. Bibirnya begerak seolah ingin mengatakan sesuatu. "Asam lambung," ucapnya singkat sebelum menenggak air mineral.

Kedua alis Tombak mengernyit saat menunggu Aira menandaskan minuman.

"Kamu bisa panaskan masakan sendiri untuk makan malam, kan?" Aira kembali menatap datar Tombak. "Aku mau keluar."

"Ke mana?"

"Belanja."

"Kuantar."

Aira menggeleng tegas. "Aku belanja sama Mas Delvi."

Tombak hanya menarik napas dalam-dalam. Saat Aira melewatinya, ia meraih lengan perempuan itu. "Hubungi aku kalau ada apa-apa," ucapnya.

Satu sudut bibir Aira terangkat sinis. "Oh, jadi kamu sudah bisa dihubungi sekarang?"

BERTEDUHМесто, где живут истории. Откройте их для себя