"Beberapa hal dalam hidup ini terjadi di luar rencana, saat itulah kemampuan bertahanmu sedang diuji."
KEMBALI ke rumah setelah seharian atau berbulan-bulan menghabiskan waktu di luar untuk bekerja dan keperluan lainnya, mungkin menjadi hal paling ditungu-tunggu oleh kebanyakan orang. Begitu pula yang dirasakan Jeje pada masa awal-awal kuliah dulu. Namun, semua terhenti semenjak papanya memutuskan untuk menikah lagi setahun pasca bercerai dengan sang Mama.
Mamanya yang sejak awal memilih untuk pindah ke luar negeri, meminta Jeje dan Deja--adiknya--tinggal bersama sang Papa di Jakarta.
Awalnya, walau hanya hidup bersama Papa dan adiknya, Jeje merasa semua baik-baik saja. Dia tetap bahagia. Toh, dia masih bisa bertukar kabar dengan sang Mama kapan saja. Akan tetapi, semua berubah setelah papanya memutuskan menikah lagi dan dia harus hidup bersama Ibu tirinya. Deja, adik perempuan Jeje yang terpaut dua tahun di bawahnya, merasa betah dan senang-senang saja tinggal serumah dengan istri papanya, karena dia memang selalu dimanja oleh perempuan yang sudah dikenal Jeje sejak kecil itu. Namun, tidak dengan Jeje. Tak mudah baginya menerima orang yang selama ini telah dianggapnya seperti Tante sendiri, tiba-tiba berganti status menjadi Ibu sambungnya.
“Tante Tiara itu sahabat Mama, dia akan memperlakukan kamu dan Deja dengan baik, Je. Dia pasti menganggap kalian seperti anaknya sendiri, percaya sama Mama.” Itu yang dikatakan mamanya saat membujuk Jeje agar tetap tinggal bersama papanya setelah sang Papa menikah lagi empat tahun lalu. Kalimat yang sangat mengiris hati Jeje. Bahkan sampai sekarang pun dia masih sulit menerima semuanya.
Mana ada perempuan yang tega menikahi mantan suami sahabatnya, kecuali dia memang sudah merencanakan semua sejak awal. Lagian, kenapa mamanya harus meninggalkan dia dan Deja bersama sang Papa? Kenapa Mama nggak membawa mereka saat bercerai dengan papanya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang masih terngiang di telinga Jeje, bahkan empat tahun pasca dia pindah dari rumah sang Papa dan memilih hidup di kos-kosan bersama sahabatnya--Anya. Untungnya, kesibukan pekerjaan dan mengurus JEAR PHOTOGRAPHY membuatnya tak berlarut-larut dengan luka di hatinya. Juga, dia jauh lebih mandiri sekarang sejak studio dan jasanya semakin dikenal banyak orang. Dan untuk pulang ke rumah sang Papa, mungkin bisa hitungan jari Jeje melakukannya.
***
Matahari baru sepenggalan naik saat Jeje turun dari taksi yang mengantarnya ke rumah sang Papa. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih ke sopir, Jeje melangkah gontai melewati gerbang menuju teras rumah.
“Adek! Tumben pulang pas hari kerja?” Jagat--Kakak tirinya--menyambut dengan senyum lebar di depan pintu.
“Ada apa gerangan, wahai jomlo?” Jeon--Kakak tiri Jeje nomor dua--ikut bertanya sambil meledeknya.
“Beberapa hari lalu Papa nyuruh aku pulang. Ternyata Mas Jagat dan Mas Jeon juga di sini?!” Jeje memamerkan gigi-gigi rapinya ke arah kedua Kakak tirinya. Walau mereka tidak tinggal bersama dan sangat jarang berkomunikasi secara langsung, tapi hubungan Jeje dengan kedua pria itu cukup baik. Setidaknya, lebih hangat dibanding dengan Ibu tirinya.
“Yang lain mana, Mas?” tanya Jeje sembari menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu, tanpa berniat untuk masuk lebih jauh ke dalam rumah.
Belum sempat Jagat dan Jeon menjawab, Papa Jeje datang ke ruang tamu. Sambil merentangkan kedua tangannya, pria separuh baya mendekat ke arah Jeje. “Kakak udah datang?!” ucapnya dengan senyum bahagia.
Jeje kembali berdiri dan langsung memeluk papanya. “Papa apa kabar? Sehat-sehat aja, kan?” tanya Jeje sembari mendekap erat papanya.
“Sehat dong, harus sehat. Masa udah sakit-sakitan aja, masih muda gini,” balas papanya.
“Muda apanya? Udah tumbuh uban, tuh!” ledek Jeje sambil mengurai pelukannya dari sang Papa. Ucapan yang membuat Jagat dan Jeon ikut terbahak di sebelahnya.
“Masih muda Papa ini, buktinya keempat anak Papa masih jomlo semua,” balas sang Papa.
“Wah, Papa menyindir nih!” Jeon langsung tertawa lepas mendengar kalimat papanya. “Bukan sindiran buat Mas Jagat, kan, Pa?” Jeon masih terbahak.
“Jagat masih tiga puluh tahun, Pa. Belum kepikiran buat nikah,” kilah Jagat, karena ikut merasa kalau kalimat sang Papa memang ditujukan padanya.
“Ah, kalian semua kalah dari Deja. Lihat Deja tuh, orang tua pacaranya sudah nggak sabar ingin melamar dia!” Kali ini Tante Tiara yang bicara, dia berdiri di sebelah sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga. Semua pasang mata di ruang tamu kecuali papa Jeje menatap padanya.
“Beneran, Ma?” Jeon yang bertanya lebih dulu. Dia menatap kaget sekaligus penasaran ke arah mamanya.
“Benar. Sebab itu, Papa mengumpulkan kalian semua hari ini,” balas Tante Tiara.
***
“WHAT? TUNANGAN?”
Meja kaca di depan Jeje bergetar karena tak sengaja tersenggol oleh lututnya. Dia benar-benar kaget mendengar apa yang diucapkan papanya barusan. Deja yang akan dilamar pacarnya, kenapa dia yang harus tunangan duluan? Nggak masuk akal.
“Ini demi kebaikan Kakak. Di mana-mana, Kakak perempuan itu nggak boleh dilangkahi nikah duluan sama Adik perempuannya. Pamali!” jelas sang Papa berusaha membujuknya. Sementara Tante Tiara, Deja, Jagat, dan Jeon hanya diam mendengarkan.
“Jeje nggak percaya dengan yang begitu-begituan, Pa. Lagian, aku nggak masalah, kok, kalau Deja nikah duluan. Namanya juga udah ketemu jodohnya, mau gimana lagi,” balas Jeje sambil menahan rasa kesalnya. Selama ini, dia yakin papanya bukan tipikal orang konservatif dan memercayai hal-hal seperti itu. Namun, yang dia dapati sekarang justru sebaliknya.
“Tapi, Adek juga nggap mau dianggap sebagai Adek yang tidak menghargai kakaknya, Kak.” Deja ikut bicara. Dia mendukung saran papanya, agar Jeje tunangan lebih dulu sebelum dia dilamar oleh keluarga pacarnya. Apa kata orang nanti, seandainya dia sudah akan menikah, sementara Kakak perempuannya masih lajang.
“Ya, Kakak nggak masalah, Dek. Nggak apa-apa kalau kamu pengen nikah duluan, lanjut aja!” Jeje nyaris bicara putus asa. Benar-benar tak paham dengan isi kepala Papa dan adiknya.
“Gimana kalau Adek kenalan dulu sama orangnya? Mas yakin dia orangnya baik, kok.” Jagat yang sejak tadi diam, ikut bicara untuk mendinginkan persitegangan yang agak memanas di ruang keluarga.
Jeje mengernyit bingung mendengar ucapan Jagat. “Maksud Mas Jagat, apa? Kenalan sama orangnya, memang siapa orangnya?” Belum hilang amarah di dadanya, kini Jeje dibuat bingung oleh ucapan Kakak lelakinya itu.
“Mama juga yakin, dia adalah yang terbaik buat kamu, Sayang.” Tante Tiara ikut bersuara.
Jeje menyipitkan matanya.
“Maksud Tante, apa, ya?" Jeje menatap heran ke arah Tante Tiara. Lalu beralih ke arah papanya.
“Pa?” serunya. Namun, papanya bergeming.
Lalu, tiba-tiba sekelebat perkiraan melintas di pikiran Jeje.
“Jangan bilang kalau aku dijodohin?” cicitnya nyaris tak terdengar.
Dan pertanyaan itu, justru dijawab dengan anggukan oleh papanya. “Namanya Rayndra Jordan, Kak!” ucap sang Papa.
***
Next ....
©Shinju Syam
YOU ARE READING
Hello, Miss JJ!
RomanceMenjadi seorang fotografer profesional, merawat tanaman kaktusnya dengan sepenuh hati, serta menjadi pasangan paling setia bagi Melinda, adalah kehidupan ternyaman yang dijalani Jeje selama ini. Namun, semua berubah 180 derajat saat papanya menyebut...
