"Pernah."

"Pernah gagal?"

"Pernah."

"Pernah buat masalah?"

"Kalau itu sih sering."

"Kalau... suatu hari nanti aku juga begitu, Papa marah nggak sama aku?"

"Alma... Alma... memangnya selama ini Papa pernah marah sama Kamu? Nggak, kan? Yang suka marah-marah itu Mama, makanya muka Mama sekarang banyak keriputnya. Eh, tapi kamu jangan bilang sama Mama ya soal ini. Nanti Papa disuruh tidur diluar."

"Aku serius!"

"Iya, iya... pokoknya, apa pun yang kamu lalukan, apa pun yang kamu jalani, Papa selalu dukung kamu. Jangan takut melakukan kesalahan, karena tanpa kesalahan, kamu nggak akan pernah menjadi dewasa dan berkembang. Asalkan setelah itu kamu bisa memperbaiki kesalahan kamu, lakukan. Lakukan kesalahan lebih banyak lagi, jangan takut, ada Papa yang selalu ada di sisi kamu." Terdengar sedikit sesat, tapi entah kenapa Alma malah tersenyum ketika mendengarnya.

Dan rasa gelisahnya menghilang begitu saja, sejak Papanya pergi setelah mengacak rambutnya. Tidak ada pelukan, karena Abizar Ilyas tahu Alma tidak suka diperlakukan seperti itu olehnya. Ah, sebenarnya ada seseorang lagi yang membuat Alma pada akhirnya berjuang lebih keras lagi dalam pekerjaannya. Seorang lelaki yang saat ini baru saja keluar dari mobil mahalnya dengan wajah memberenggut, lelaki yang berjalan santai ke arahnya, yang tidak menyadari jika sekelilingnya mulai menjadikannya perhatian. Lelaki yang saat ini mencebik pelan sebelum duduk di depan Alma.

Alma masih menyuapi mulutnya dengan mie, namun satu tangannya mendorong sosisnya ke depan.

"Enak, walaupun harganya nggak sebanding sama sosis di rumah lo." Lelaki di depannya tidak menyahut, bahkan kini memalingkan muka dengan wajahnya yang masih memberenggut dan itu membuat Alma memutar bola matanya malas. "Uhuk!"

Seperti kecepatan cahaya, begitu mendengar Alma terbatuk, lelaki itu bergegas membuka tutup botol minuman di atas meja kemudian menyerahkannya pada Alma. "Makanya kalau makan pelan-pelan!" Rutuknya.

Alma mengerling padanya, mencebik pelan lalu memgambil botol minuman itu. "Becanda gue. Ngomel mulu lo, Ka, kaya Opa lo."

"Bodo." Balas Arka, sahabat Alma sekaligus salah satu kandidat calon penerus Barata's Group generasi selanjutnya, yang saat ini sedang merajuk karena Alma lebih memilih makan di tempat seperti ini dibandingkan menerima ajakan Arka untuk makan malam di sebuah restoran mahal milik rekan kerjanya.

"Apa sih, lo, kalau mau ngambek, minggat sana." Omel Alma.

Arka menatapnya dengan kedua mata menyipit. "Gue nggak ngambek."

"Senyum dong kalau gitu."

Dan Arka melakukannya, meski dengan wajah yang masih tampak kesal hingga Alma tertawa terbahak-bahak.

Mata Arka mengamati meja di depannya, lalu dia menghela napas. "Lo nggak takut, sering makan yang beginian?" Arka benar-benar tidak tahu mengapa sahabatnya ini senang sekali menikmati makanan tidak sehat itu.

Sejak kecil, sejak mengikuti Alma kemanapun, Arka sudah sering kali melihat Alma yang jajan sembarangan. Dulu, Alma jarang sekali jajan di sekolah mereka. Dia menyimpan uang sakunya untuk pulang sekolah nanti, membeli banyak sekali jajanan di depan sekolah lain yang tidak bisa dia temukan di sekolahnya.

Dan dia melakukannya bersama Mamanya. Arka pernah mencobanya, dan setelah itu dia bersumpah tidak akan melakukannya lagi karena setelahnya Arka jatuh sakit dan mengalami gangguan pencernaan. Arka pun tidak mengerti mengapa Alma baik-baik saja sedangkan dia malah sakit.

MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang