Masihkah Ada 'Kita' Setelah Ini?

177 43 1
                                    

"Jaemin-ah..." panggil Jeno.

Jaemin menatapnya penuh tanya tanpa menghilangkan kelembutan yang selalu ia lemparkan untuk Jeno seorang.

"Sebenarnya..."

Jaemin mengangguk seolah menyemangati Jeno untuk meneruskan ucapannya.

"Sebenarnya... Aku sudah menikah."

Jaemin berkedip.

Satu detik.

Tiga detik.

Sampai satu menit.

Jeno menunduk sesaat, seolah berusaha menyiapkan dirinya atas respons Jaemin yang akan dihadapinya. "Aku harap kamu menerima itu."

Harusnya makan malam itu sama seperti malam-malam biasanya. Hanya Jaemin dan Jeno, seperti yang mereka hadapi tiga bulan belakangan, di apartemen yang mereka tinggali berdua. Jaemin dan Jeno bergantian memasak setiap hari, sama seperti pembagian tugas-tugas rumah lainnya. Tak ada yang mengeluh.

Awalnya Jaemin tak sanggup membayangkan bagaimana repotnya Jeno mengantar jemputnya setiap hari. Ia malah membayangkan Jeno akan terbang di antara gedung-gedung pencakar langit, tampak begitu kontras dengan keseluruhan warna bangunan dan langit yang menjemukan. Begitu berbeda dari suasana di rumah mereka di pinggiran kota.

Namun di luar dugaan, Jeno dengan cepat beradaptasi. Ia tak hanya menghafal jalanan dengan cepat, tapi juga sering berjalan-jalan (benar-benar berjalan), mencari tempat makan, tempat berbelanja, hingga toko-toko yang tidak familier bagi Jaemin. Kehadirannya begitu halus menyesuaikan kehidupan baru mereka sehingga Jaemin tak sedikitpun merasa tak enak hati karena Jeno harus menemaninya tinggal di kota. Apalagi selama pindah dan tinggal berdua, Jaemin justru merasakan peningkatan signifikan dalam hidupnya. Seperti ketangkasan dan energi Jeno yang bisa membuatnya lebih santai. Mereka juga bisa pulang setiap dua hari sebab Jeno memegang kendali atas kemudi dan karena mereka senang setiap berdua.

Hal terakhir ini disadari Jaemin setelah lebih dari sebulan mereka tinggal bersama.

Meski pertemuan kembali mereka setelah bertahun-tahun tidak berlangsung mulus, tapi saat ini mereka sudah bisa membicarakan apa saja dan kapan saja. Ada waktu di mana Jaemin lebih banyak mendengarkan dan Jeno akan bicara tentang apa saja. Baik itu hal remeh-temeh yang ditemuinya hari itu, hingga berbagai cerita mitologi dari tanah-tanah jauh yang terdengar eksotis di telinga Jaemin. Jaemin juga terkadang berada di waktu terburuknya hingga ia tak bisa tidur karena mengingat ayahnya.

Ia akan keluar kamar dan menyalakan televisi dengan suara rendah sambil minum minuman hangat, berusaha sekadar memberikan rasa kantuk dan hiburan bagi dirinya sendiri. Tak perlu menunggu lama bagi Jeno untuk bergabung. Setiap kali Jaemin mengusirnya kembali tidur, Jeno tersenyum dan justru menyamankan dirinya di samping Jaemin. Ia akan menceritakan hal-hal yang ingin Jaemin dengar, seperti kenangan saat Yayah masih kecil yang tak diketahui Jaemin, atau memori mereka saat Jaemin kanak-kanak yang tak sempurna diingat.

Tinggal di Jeno, tidak hanya membuat Jaemin menghargai masa lalunya, tapi juga bersemangat menyongsong hari esok.

Rekan serumahnya dulu, Shotaro, selalu bisa menyemangati Jaemin di segala situasi dan kini Jeno melakukan hal itu untuknya dengan cara yang berbeda. Jaemin seringkali merasa apakah ia pantas menerima semua kebaikan ini saat dulu ia menghabiskan separuh waktunya dengan berusaha menghapus Jeno dan kenangannya dari hidupnya.

Perubahan itu tak hanya dirasakan Jaemin, tapi juga seluruh anggota keluarga, kenalannya, serta Jeno sendiri. Keluarganya kini sudah menganggap mereka sebagai pasangan, praktis menanyai Jaemin tentang Jeno, begitu pula sebaliknya. Jaemin yang awalnya terlalu malu untuk membalas, berubah lebih rileks dan bahkan membalas godaan keluarganya. Rekan kerja dan murid-muridnya mulai akrab dengan kehadiran Jeno yang selalu mengantar jemput Jaemin.

Dear My Eternal | NOMINWhere stories live. Discover now