Dua

54 14 8
                                    

Lino dan Changbin berhenti di tengah langkahnya, menunggu dua sahabatnya yang berjalan agak malas dengan bantuan treking pole. Lino melipat kedua tangannya dengan wajah masam, siap untuk melontarkan segala jenis komplain yang sudah disiapkan di kepalanya.

Changbin menggoyang-goyangkan kamera di bahunya, memastikan gambar yang direkamnya nanti tidak terlalu menunduk atau mendongak. Tidak peduli dengan Lino yang juga meliriknya dengan tatapan sinis.

"Biasa aja kali."

"Kalian lama banget sih, habis pada ngapain berduaan? Ini jam berapa? Kita baru jalan sedikit ini. Ayo dong semangat!"

Hyunjin dan Chan hanya mengangguk patuh, melanjutkan pendakian mereka menuju sebuah tempat yang bahkan mereka sendiri tidak yakin akan tiba disana. Karena sedari tadi, wajah Hyunjin terlihat seperti tidak nyaman akan suasana hutan yang ... sangat sunyi.

Tidak ada kicauan burung. Bahkan bunyi serangga yang biasanya mengisi kekosongan malam di ruang terbuka seperti ini, sama sekali tidak terdengar.

Lino berhenti pada sebuah pohon tinggi yang batangnya terpahat dua tanda silang, jari-jarinya mengusap tanda yang sudah lama dibuat. Ia berpindah ke beberapa pohon di dekatnya, apakah ada yang memiliki tanda serupa seperti di pohon sebelumnya.

"Persimpangan." Ucap Chan pelan.

Lino melihat ke langit yang tertutupi daun-daun, menarik nafasnya dalam saat angin bertiup perlahan ke arahnya. Dingin.

"Oke gue sekarang ada di salah satu gunung terkenal, kita lagi ada di persimpangan nih kayaknya. Di papan petunjuknya ada tulisan Puncak Satu dan Puncak Dua. Nih, liat." Changbin mengarahkan kameranya pada kayu yang menunjukkan arah ke dua puncak berbeda.

"Mungkin ini penanda persimpangannya." Gumam Lino yang kemudian mengambil jalur menuju Puncak Dua.

Changbin yang berjalan mundur sembari menyorot senter ke arah teman-temannya, bercuap-cuap tentang bagaimana perjalanan mereka dari awal dan sampai detik ini.

"Jangan asal nyorotin senter, Bang Bin." Hyunjin memperingati temannya yang malah cekikikan puas.

"Muka-muka nggak dikasih makan sama emak tiga hari." Changbin terkekeh iseng mengarahkan senter bergantian ke Hyunjin dan Chan.

Ia memutar tubuhnya dan mengarahkan cahaya ke segala arah, menakuti burung-burung yang tampaknya kesal karena baru saja terlelap.

Sorotannya berhenti pada sosok jangkung berbaju hitam bergaris coklat dengan celana batik panjang. Pria jangkung itu hanya berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun. Ketiga temannya yang berjalan dibelakang pun menghentikan langkahnya.

Chan sudah membatin bahwa hal yang buruk akan terjadi, dan ia yakin sekali.

Changbin serasa mendapat pukulan di jantungnya. Kedua telapak tangannya berkeringat dan membuat senter yang di genggamnya jatuh, menggelinding agak menjauh darinya. Ia mendongak ke atas untuk mendapat gambaran siapa yang berbicara padanya. Tapi yang dilihat hanyalah siluet hitam dengan suara parau. Suaranya seperti tanda, bahwa ini akan menjadi malam yang sangat panjang untuk keempat pemuda itu bila tetap melanjutkan perjalanan.

Changbin yakin, siluet itu menatapnya tajam bagai elang yang hendak memangsa.

"Apapun yang kalian lakukan di sini sekarang, harus dibatalkan. Kalian harus pulang, ini bukan negosiasi. Kalian tidak boleh berada di tempat ini. Kalian harus mengerti."

Benar saja, si empunya suara sudah menitahkan mereka untuk segera pergi dari lokasi.

"Emang kenapa kalau kita tetep pergi, Pak?" Tanya Lino yang sebenarnya ragu untuk bertanya. Tapi ia paksa, walaupun jantung ikut berdegup cepat juga.

Naik-naik ke Puncak GunungWhere stories live. Discover now