Satu

123 19 12
                                    

Oktober menjadi kesempatan terakhir bagi para pendaki yang membenci hujan. Musim kemarau berlalu begitu cepat tak terasa oleh Lino serta ketiga kawannya Chan, Changbin dan Hyunjin. Bulan-bulan sebelumnya telah terisi penuh dengan agenda organisasi maupun tugas yang sangat tidak senang jika diduakan, sehingga harus segera diselesaikan lalu bersantai setelahnya. Itu yang saat ini sedang dilakukan mereka berempat, menyusun agenda untuk naik gunung sebelum kemarau berlalu, atau jika tidak mereka akan kerepotan dengan terjangan hujan dan jalur yang rawan longsor.

“Minggu kedua udah longgar banget nih gue. Gas lah tanggal dua belas. Kalo gak salah itu hari kerja. Kan enak gak perlu desek-desekan di puncak ntar. Kita juga bebas mau nyari tempat camp.”

Lino selaku anak pecinta alam mengemukakan ide dan rencana keberangkatan yang ia pikiran sebelumnya. Tiga temannya yang lain bukan anak pecinta alam, tapi memiliki hobi yang sama walau tidak sesering Lino dalam melakukan pendakian. Hanya sekedarnya saja dan hanya saat ada waktu.

“Gak masalah sih. Acara fakultas gue juga udah kelar tanggal segitu. Lumayan itung-itung refreshing juga.”

Chan sebagai salah satu anggota BEM fakultas, juga menginginkan adanya acara setelah berakhirnya kegiatan yang selama ini menyita waktu.

“Gas sih kalo gue. Bagus juga buat konten gue di youtube. Kebetulan gue belum ada konten pas lagi naik.”

Changbin sang mahasiswa bisnis dengan jiwa influencer menambahi usulan rencana dua kawan sebelumnya. Bagi Changbin, konten is number one.

“Gue belum tau. Belum ijin bonyok juga. Gak tau deh boleh apa gak.”

Hyunjin yang paling sering bimbang saat mendiskusikan agenda semacam ini. Selalu kebingungan sehingga kawan-kawan yang lain juga harus memutar otak agar si bocah seni tari ini bisa bergabung dengan mereka. 

“Gue suka heran sama bonyok si Haje. Susah bener kalo kasih ijin.”

Lino memainkan karet yang ia temukan asal di gazebo tempat mereka berkumpul.

“Ya lu kan tau sendiri, No gimana si Haje. Wajar mak bapak dia gak gampang lepas gitu aja. Kayak gue gak bisa lepasin lo gitu.”

“Najis lo, Chan. Ngomong noh sama kambing Mang Ujang.”

Pada akhirnya Chan harus rela kulit tangannya memerah karena jepretan karet dari Lino.

“Ni berdua gak pernah ya kalo ribut gak pake KDRT. KUA sono, ajuin talak. Berantem mulu.”

Hyunjin tertawa saja mendengar celotehan Changbin yang lebih sering memojokkan kedua makhluk hobi ribut di sana. Chan dan Lino memang tidak pernah akur karena Lino yang sok cuek, dan Chan yang sangat suka menggoda. Padahal keduanya bisa berkorban apa saja demi membantu satu sama lain.

“Haha. Gue kan belum kasih tau juga ke bonyok kalo mau naik. Nanti deh gue kasih tau mereka kalo gue mau naik sama kalian. Siapa tau boleh, nanti pasti gue kabarin ikut atau nggaknya.”

Anggukan tanda paham mengakhiri sesi diskusi naik gunung mereka sore itu.

*****

Selasa sore dengan latar jingga kemerahan mengantar empat pemuda itu ke perjalanan menuju jalur pendakian. Pada akhirnya Hyunjin diijinkan oleh kedua orang tuanya untuk pergi, tentu saja dengan wejangan jangan berbuat macam-macam selama mereka naik. Alam memiliki hukumnya sendiri, dan akan berjalan sebagaimana mestinya jika manusia membahayakan. Pada intinya, perjalanan mereka kali ini dibekali wejangan dari mama Hyunjin yang memakan waktu lima belas menit sebelum keberangkatan. Tentu saja bagi Lino si anak alam, wejangan semacam itu bukanlah hal yang perlu dipikir dalam. Ia terbiasa menjelajah alam dan pasti paham do and don’t selama berada dalam jalur jelajah.

Naik-naik ke Puncak GunungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang