1. Kehilangan

28 2 4
                                    

Wanita itu rebah di pembaringan dengan dada yang terluka dalam. Dia mencoba menggerakkan tangannya yang bebas untuk mengambil barang dalam satu kibasan. Dari jauh sehelai pashmina bergerak menuju dirinya. Kain yang datang tanpa disentuh itu digunakannya untuk membebat tangan kiri. Matanya nyalang mencari dua keranjang yang berisi bayi-bayi. Keranjang yang sudah disiapkan untuk diangkut pergi.

"Khaya ... Bora!" Dia berteriak, memanggil dua nama dan mencoba berdiri. Isi rumah itu sudah hancur, tidak ada barang yang utuh. Perkelahian yang baru saja terjadi memorak-porandakan seluruh perabotnya.

"Bahar ... Edna ... " Dia berteriak lagi.

Wanita itu tertatih melangkah menuju sebuah kamar, menyeret kakinya yang juga luka dan menabrak sebagian barang-barang. Hidungnya mencium bau gas, bau bahaya. Dia bergegas membuka pintu kamar, kembali berteriak menyebutkan Khaya, Edna, Bahar dan Bora. Dia melupakan tubuhnya yang penuh luka dalam.

Bau gas makin menyeruak, dia masih sibuk memeriksa dua kamar lagi dan kamar-kamar mandi, berkali-kali meneriakkan empat nama. Tidak juga ditemukannya dua keranjang bayi dan dua anak lainnya. Wanita itu beranjak terburu ke pintu saat menyadari bahaya yang mengintai. Bertepatan dengan dirinya yang sampai di halaman rumah dari arah dapur terdengar ledakan keras?

Wanita itu terduduk membeku memandangi puing-puing rumahnya yang berloncatan ke udara.

"Belinda Daghda, sebaiknya ikut bersama saya."
seorang pria menariknya berdiri, mengangkat tubuhnya melangkah menuju sebuah van besar.

***

Wanita itu terbangun di ranjang putih dalam kubah yang juga putih tanpa jendela, Lukanya menghilang tanpa bekas, tetapi seluruh persendian masih kaku dan ngilu. Sudah 24 jam ia tak sadarkan diri, aroma rempah mengisi penciumannya.
Daghda mengerjapkan matanya, menyusun ingatan tentang apa yang telah menimpanya.

"Khaya, Bora, Edna, Bahar ... di mana kalian?"

Airmata membasahi pipinya, mengalir tanpa bisa ditahan. Tubuh telentangnya tidak bisa digerakkan, ada sesuatu tak kasatmata yang mengikatnya. Dia memejamkan mata lagi mencoba menghentikan tangis dan mengaburkan ingatan.

Salah satu bagian kubah tiba-tiba terbuka, dinding mulus itu mendadak berongga seluas orang dewasa. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan melangkah masuk.

"Daghda ...," panggil pria itu pelan di telinga wanita yang terbaring di atas ranjang berseprai putih, dia melanjutkan kalimatnya, "tetaplah tidur hingga kau benar-benar sembuh."

Wajah Daghda terlihat sangat tenang dan napasnya kembali teratur. Rongga pintu kembali membuka, kali ini seorang wanita masuk mendekati ranjang,

"Bagaimana Barraq? Apa dia kita pindahkan ke ibu kota? Di sini tidak aman. Aku yakin dia tidak akan keberatan."
Wanita dengan rambut lurus sebahu bersurai hijau menyala memandang Barraq menunggu jawaban.

"Dia masih shock, Rora ... tidak memungkinkan bagi kita memindahkannya. Tiga hari lagi, kumohon tiga hari lagi. Aku yang akan membawanya."

"Anakku ... Edna ... Khaya ... Bora ... Bahar." Daghda mengigau dalam tidurnya.

Rora menyentuhkan tangan ke ubun-ubun wanita itu, kemampuannya untuk memanipulasi ingatan dia salurkan pelan untuk menutup rekaman pikiran Daghda. Namun, ada semacam tameng membatasinya. Keringat muncul di dahi Rora, bibir tipisnya mengatup erat, dia mengerahkan seluruh kekuatan. Embun-embun muncul di pucuk hidungnya dan mata yang terpejam berkedut.

Wajah Barraq cemas, dia tahu apa yang sedang dilakukan Rora.
"Tidak perlu kau lakukan itu. Tidak ada satu ibu pun yang akan bisa menghilangkan ingatan tentang anak-anaknya. Jangan
lakukan itu, kumohon." Barraq menarik tangan Rora.

"Ia harus melupakan mereka, Barraq. Anak-anak itu tidak berharga, mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa. Kami mempertahankan istrimu, hanya karena ia perempuan Gogor yang kau cintai."

Mata Barraq berkilat, kalimat yang disampaikan Rora mengusik harga dirinya. Wanita ini tidak tahu yang sebenarnya. Istrinya sangat pintar menyembunyikan kemampuan, agar semua orang menganggap ia hanya Gogor -ras berkemampuan kinesis rendahan- tanpa keahlian yang dibanggakan. Akan tetapi, Barraq tahu istrinya adalah seorang Gragona sejati, kemampuan telekinesis Daghda sudah melebihi level tiga saat ini. Dia bahkan sudah bisa memindahkan sebuah kendaraan dalam satu kibasan tangan. Barraq bergeming tidak menyampaikan apa-apa. Bukan itu saja, Daghda memiliki sesuatu yang bisa mempengaruhi orang lain dengan pikirannya, bahkan bisa memanipulasi perasaan dan membuat nyaman.

Rora mengangkat tangan lalu menjentikkan jarinya, membuat sebuah rongga besar di dinding kembali terbuka. Rora -Aurora- adalah salah satu dari 5th First, Gragona, darah murni yang menguasai kemampuan kinesis tingkat lima.

"Aku sarankan kau untuk menikah lagi dengan Cyra, setidaknya dia Korgana yang memiliki kemampuan kinesis terbaik. Jika saja dulu kamu menikah dengan Kara, tidak akan begini kejadiannya." Wanita itu berkata sebelum menghilang bersamaan dengan rongga yang menutup kembali tanpa bekas di dinding.

Kalimat yang disampaikan Rora membuat Barraq mengerutkan kening, sebuah pertanyaan menggelitik dirinya.

"Siapa yang menyuruh Rora kemari? Mamie atau Elder Haydar?

Mengapa terlalu banyak orang-orang ikut campur dalam kehidupannya dan Daghda.

***
Journey of Daghda-Barraq di mulai hari ini hingga 40 hari ke depan.

Mari memberi komen dan saran🙏

Kunarpa AntargataWhere stories live. Discover now