O1: kilas balik laranya hati

183 22 9
                                    

◦ ◦ ◦

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

◦ ◦ ◦

Ribuan cengkerama milik penghuni dua belas MIPA dua kembali menimbun titik berat yang biasanya sulit didapat. Atensi mereka tak kunjung berpindah tempat. Terus mendesuskan satu perihal yang terekam di satu jam silam dengan kompak.

"Gue enggak kaget, sih. Wajar banget kalo dia yang menang pemilihan Ketua OSIS. Lagian, ketua sama wakilnya itu sama-sama anak teladan."

"Kayaknya bukan itu alasannya, deh. Mereka 'kan populer banget di sekolah. Terutama di angkatan kita yang notabene sering geleng kepala tentang si dia," ujar Nakana seraya menopang badan di papan samping jendela. Rautnya berkelana mencari udara segar. Sedikit jenuh dengan muka masam yang ditata oleh sang kawan.

"Dia ... Maksud lo si Akaashi?" Rikala memajukan raga. Tak lama, jemarinya sudah menuding ke gapura kelas dua belas IPA tiga. Yang sering dikata kandangnya para pecandu soal ujian, termasuk Akaashi Keiji, yang jua bersemayam di sana.

"Emang siapa lagi kalo bukan Akaashi -si mantan ketua OSIS yang paling dibenci kelas dua belas?"

Tidak, semesta. Ucapan itu barangkali terkesan bualan bagi para hawa yang memandang Akaashi Keiji dari tampangnya. Namun, apa yang dilontarkan mereka adalah fakta. Sama sekali tidak dilebih-lebihkan.

◦ ◦ ◦

Jejaka yang tadi sisi kanan kirinya didampingi, kini tengah sendiri. Menopang diri, melirik arloji, kadang menghela napas beberapa kali. Akaashi Keiji merasa tuli, pemuda milik Jakarta itu jua tak beropini. Netranya masih sibuk memandangi selembar kertas lawas bertajuk visi dan misi di papan mading.

Niat hati ingin mencopoti. Akan tetapi, raganya buru-buru berpaling. Baru menyadari, akan perihal visi dan misi versi kini yang belum dilaminating.

"Perpustakaan hari ini ... sepi enggak, ya?"

Pemuda ini memang gemar menenggerkan raga di sudut sekolah bernamakan taman pustaka. Bukan hanya gemar mencerna buku usang, dirinya jua menuai titel ketua klub jurnalistik semenjak kelas sebelas. Namun, untuk kali ini perihalnya beda. Dikarenakan mesin laminating hanya ada di taman pustaka, maka dari itu tungkainya segera mengarah ke sana. Hitung-hitung menyibukkan raga. Dengan telinga yang menuli, pastinya.

◦ ◦ ◦

"Loh. Permen karetku yang rasa nanas ke mana, Sa?"

Dia Prameswari. Kata bahagia, Pram garis hidup Kausa, yang menjelma sebagai kawan lama. Gemar berunjuk rasa, perihal murka kerapnya.

Sebetulnya, mripat miliknya sudah penat karena belakangan ini terlalu sering diikat. Memang usah direhat, agar tak sekarat. Tetapi, satu pemuda yang yang baru saja datang di ruang ini -taman pustaka- membuat mripatnya membulat. Perihal hari ini, jadi bergulir sekelebat.

Alih-alih menjawab tanya Pram tentang permen karet, Kausa justru membisik enteng, "Kok kak Akaashi bisa, ya? Pergi ke manapun pake muka datar tanpa membalas cibiran orang-orang? Apa telinganya enggak panas, gitu?"

"Kenapa tanya ke aku?"

"Kamu 'kan anggota jurnalistik. Harusnya tahu, dong. Gelagatnya kak Akaashi itu," ujar Kausa, yang dibalas Pram dengan sikutan keras, nyaris membuat kebas.

"Udah-udah. Ada baiknya kalo sekarang, kamu bantuin cariin permen karetku, Sa."

Durja Pram yang menjelma masam membuat Kausa mengiyakan, secara terpaksa tentunya. Menurut Kausa, untuk apa seseorang membeli santapan yang sama sekali tak mengenyangkan? Bukannya hanya buang-buang uang? Namun, pada ujungnya, Kausa-lah yang merasa buang-buang waktu untuk berdebat dengan sang sahabat.

Sirah Pram menoleh ke bawah meja. Memicingkan mata, siapa tahu kudapan berbungkus kuning itu bersembunyi di kolong sana.

Dan, benar saja. Satu permen karet rasa nanas miliknya tertemukan di bawah meja. Sontak raganya membungkuk, hendak memungut. Namun, yang ia dapatkan malah buah tangan berupa rasa ngilu. Benar, semesta. Dahinya terpelatuk ujung meja. Usai menangkap tutur kata milik sang ketua, yang terkesan dingin jua tegas.

"Bungkus permen ini ... punya kamu, kan? Kenapa tidak dibuang di tempat sampah?"

Tampang Pram mendadak terbanjiri peluh, pula bercampur dengan rasa ngilu. Begitu jua dengan Kausa, yang turut memirsa adegan langka tersebut, tanpa membantu sedikitpun.

"Anu, kak. Gini loh, kak. Tadi itu, kan ... A-aku lagi sibuk nyari bahan materi kerja kelompok. Bareng dia tuh! Dia, Kausa Putri Alusena namanya, kak!"

"LOH? KOK MALAH AKU?!" Jari telunjuk Kausa menunjuk raganya secara dramatis. Pupil netranya bergetar sedikit. Peluhnya jua turut tergelincir.

"Terus ... Anu, waktu itu aku enggak sadar kalo bungkus permennya jatuh. Em, jadi, intinya, itu adalah hal yang tidak disengajai, kak. Maaf ya, kak Akaashi," tutur Prameswari, yang dibarengi dengan kalimat doa. Agar amarah Akaashi mereda. Jua mengizinkannya untuk pulang dengan selamat, bersama sang sahabat.

"Makan di perpustakaan itu juga termasuk hal yang tidak diperbolehkan. Jadi, kamu tetap harus kena hukuman. Dua kali."

"A-anu, tapi, kak ... gini loh, kak-"

"PRAM, AYO LARI!!" Lontaran dari Kausa melambung keras di telinga sang jelita. Tanpa aba-aba tungkainya melangkah keluar dari taman pustaka, demi melepas seluruh hawa tegang yang memenjarai akal sehat. Dengan menggenggam jari milik Kausa yang bersuhu rendah, pastinya.

Lantas, Akaashi mempersempit dahi. Ia masih belum memahami paradigma pikir milik pemudi ini. Bukan kah tuturnya tadi ialah tindakan yang wajib? Mengapa sang gadis jadi lari terbirit-birit?

Dan harusnya, Akaashi tak mesti mengamati hingga Pram tak tampak lagi. Bagi Akaashi, pemudi itu bagai riak yang sulit ditebak.

"Kita bahkan belum kenalan, dan kamu udah buat saya penasaran."

◦ ◦ ◦

A/n: Alsha ingatkan, ya. Pilar renjana ini termasuk dalam alternative universe yang berlatar di Indonesia, lebih spesifiknya di Jakarta. Kenapa latarnya di Indonesia? Agar saya bisa lebih bebas dalam memilih diksinya, hehe.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 22, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

𝐏𝐈𝐋𝐀𝐑 𝐑𝐄𝐍𝐉𝐀𝐍𝐀Where stories live. Discover now