II

21 4 7
                                    

Pagi ini, Nadine menghabiskan waktu sarapannya di kediaman keluarga Sadam. Anak bungsu dari Bramantio yang hari ini kembali ke Bandung diantar oleh supir pribadi keluarganya.

"Bun, lagian kenapa sekeluarga nggak pindah ke Bandung aja? Kan kita asli Bandung daripada aku, Ayah sama Teh Maya bolak balik terus." tanya Sadam setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Masa iya dari Bandung pindah ke Bekasi terus pindah ke Bandung lagi? Kayak remaja aja," jawab Bunda.

"Apa tuh Bun?" Nadine menaruh perhatiannya pada Bunda Hanum.

"Labil."

Ayah Harun hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban istrinya, "memang kamu kira pindah-pindah rumah semudah itu?"

"Mudah kalau ada duitnya Yah."

"Pertanyaannya, memang ada duitnya?"

"Ada tuh kan-"

"Sadam jangan ngomong terus dong," delikan mata Teh Maya membuat Sadam berhenti bicara kemudian terkekeh kecil.

Perbedaan sifat dan kelakuan yang dimiliki keduanya memang 180 derajat. Teh Maya yang pendiam, tidak banyak bicara membuat ia agak risih dengan kelakuan Sadam yang banyak tingkah, banyak bicara serta sering membuat kegaduhan.

Selesai makan bersama, Sadam serta Teh Maya berpamitan untuk pergi ke Bandung. Dipeluknya tubuh mungil Nadine oleh sahabatnya, "jaga kesehatan ya Dine. Hubungi gua tiap lu butuh."

Dijawab oleh anggukan kecil, ia melepas pelukannya "harusnya jangan balik ke Bandung sekarang."

"Kayak nggak tau tuh nenek lampir aja," bisik Sadam dengan senyuman di bibirnya sambil melirik Teh Maya.

"Nanti gue sama anak-anak mau ngumpul."

"Titip salam buat semuanya. Maaf gue ngga bisa ikut."

"Iya nanti disalamin. Lo hati-hati."

Setelah mobil pajero hitam hilang dari pandangan Nadine, ia kembali ke rumahnya yang hanya berjarak dua blok dari rumah Sadam.

Ia rebahkan tubuhnya di kamar tidurnya sebentar karena hari ini ia berencana pergi untuk bertemu dengan teman-temannya.

"Nah, akhirnya kita setelah dua bulan ini ngumpul juga. Karena si anak himpunan susah banget diajak mainnya. ." kata Acha, si pemilik rumah sambil melirik ke arah Ryan yang sedang mengunyah kacang di mulutnya.

"Ya. Namanya kita udah sama-sama sibuk gimana? Kalau pas masih SMP mah pulang sekolah langsung ke sini ya gak?" Tiga orang lainnya mengangguk setuju tanpa mengeluarkan suara.

"Si Gabe kemana sih? Lama banget." Vian–yang lebih akrab dipanggil Yayan itu menatap temannya.

"Gabe datang dari kampus, katanya dia bawa temennya. Gapapa kan?"

Nadine dan Ryan mengangguk mantap, "gapapa, santai aja. Biasanya juga lu pada bawa temen ah."

"Eh iya, Sadam titip salam buat kalian semua. Ngga bisa ikut ngumpul udah keburu balik ke Bandung," jelas Nadine dengan tangannya yang terulur untuk mengambil kue sus coklat di dalam toples kaca.

"Kangen Sadam, udah lama banget dia ngga ikut ngumpul," timpal Veena.

Suara bel berbunyi menandakan ada seseorang datang di kediaman Acha dan membuatnya bangkit dari duduk yang tidak ia rubah posisinya sedari setengah jam lalu. Begitu pintu dibuka, di balik pintu menampakkan dua lelaki yang tingginya hampir sama. Gabe dan—entah siapa nama temannya.

"Lama banget lu jam segini baru dateng," protes Ryan begitu Gabe dan temannya sudah duduk di sofa.

"Biasa lah, banyak urusan gua kan orang sibuk. Eh, kenalin nih temen gua," tunjuk Gabe. Sementara lelaki yang terlihat agak kaku itu mengulurkan tangannya satu per satu sambil mengenali dirinya.

"Hai, gue Nadine," Nadine menyambut uluran tangannya, "Devaleo." Tangannya terasa dingin, seperti habis berkeringat dan sesegera mungkin melepaskan tautan tangan mereka.

Dua jam berlalu, Ryan, Veena dan Vian yang sedari tadi paling berisik malah tertidur lelap sementara Gabe dan Devaleo tetap memfokuskan matanya pada acara WWE di televisi.

Nadine yang baru kembali dari kamar mandi menempatkan duduknya di samping Gabe, "ih serem ditonjok." Langsung berkomentar dengan dua detik yang dilihatnya.

"Emang gitu mainnya Nadine. ."

"Gabe bisa kayak gitu?"

"Bisa dong kalau ada lawannya," saut Gabe sambil tersenyum.

"Kalau Devaleo bisa?"

"Bisa," jawabnya singkat. Nadine mengangguk pelan mendengar jawaban yang super singkat dari temannya Gabe ini, "Devaleo namanya bagus tapi kepanjangan. Boleh ngga dipanggil Ale aja?"

"Ale?" tanyanya balik.

"Iya Ale, kan namanya Devaleo terus Dev ale o. Tuh nama tengahnya kan ada Ale nya," jelas Nadine sambil menatap Devaleo yang matanya tetap fokus kepada televisi.

"Iya boleh."

Setelah mendengar jawaban dark Devaleo kemudian suasana kembali hening sampai Nadine melirikkan matanya ke arah jam dinding, "eh udah jam segini. Mau pulang ah."

"Masih jam segini, nantian aja Dine."

"Udah jam setengah dua belas gini, takut ngantuk di jalan," katanya sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas, "Cha, gue pulang ya?"

"Nginep aja lah."

"Kebiasaan deh."

"Ya lagian, pulang jam segini. Bahaya, anak gadis." Nadine tetap mengambil kunci mobilnya yang ternyata—tertindih dengan badan Ryan yang masih lelap. Setelah berpamitan, ia diantar keluar oleh Acha.

"Acha, makasih banyak ya."

"Iya sama-sama sayang. Kalau kosong hubungi gue dong, kangen tau."

"Padahal yang lebih sibuk lo, bukan gue."

"Bener juga ya. Udah sana pulang besok hari Senin—" Acha sadar ucapannya salah kemudian segera menutup mulutnya rapat rapat, "i'm sorry Dine. Gue lupa."

"Gerald suka hari Senin, Cha," jawabnya dengan pelan.

Acha memejamkan matanya kemudian menghembuskan nafasnya karena ia tahu, ia baru saja mengingatkan Nadine pada lukanya lagi dan memeluk tubuh Nadine yang terasa kecil di pelukannya, "maafin gue Dine. Gue ngga bermaksud bikin lo sedih, gue minta maaf." Nadine mengangguk lesu kemudian membalas pelukannya.

"Its okay Acha, gue nggapapa. Cuman keinget aja." Nadine melepas pelukannya kemudian tersenyum simpul, "doain biar gue bisa lupa. Gue cuman mau itu aja, ya? Gue balik dulu."

———

Marsha Farasya
Acha

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FinaleWhere stories live. Discover now