^...eskul basket...^

251 28 4
                                        

"Kok jadinya sekolah aku sih?"

Sudah beberapa hari terakhir suasana hatinya rumit. Aras merasa agak sakit kepala. Tubuhnya kerap menggigil, pikirannya tak lagi pernah bisa tenang setiap berhadapan dengan Soren.

"Aku enggak mau mas kalau enggak sama mas." Ujaran tersebut membuat Aras mendidih dan mulai berpikir jauh.

Seperti kata Wira, Chasen justru lebih nakal dari siswa-siswi yang selalu datang dan pergi ke kelas tahanan siswa bermasalah di ruangan guru konsultasi. Kecurigaan semakin mengerubungi rasa takut untuk bertanya. Apa semua ini ada hubungannya dengan Chasen?

"Oren dipaksa orang masuk situ, 'kan?" Sikap Aras tenang, meskipun pikirannya tak menentu, anak itu tetap bertanya tanpa nada curiga.

"Kemauanku kok, mami enggak paksa aku. Kan kalau kita nanti satu sekolah bareng aku jadi bisa jagain mas dari dekat."

Ungkapan yang imut. Soren itu memang memiliki ciri khas yang lugu, manis, pendiam dan sangat cantik. Aras selalu tahu fakta, seharusnya, tentang Soren yang lurus dan segala perilaku kerendahan hati dalam kesehariannya. Tetapi semenjak hari itu, Aras semakin meragukan dirinya sendiri.

Aras tidak pernah beranggapan semua pikiran dan kecurigaannya adalah sebuah kesalahan. Hanya saja dia menyadari jika dirinya terlalu banyak berpikir. Sebab, selama ini Soren selalu bergantung padanya dan setelah semua itu, Aras merasa sangat marah.

Dunia yang luas ini memiliki Soren, salah satu manusia yang keberadaannya telah menguasai seluruh kehidupan Aras. Seharusnya Aras bisa berperan menjadi sosok yang lebih istimewa dalam hidup Soren. Seharusnya. Tetapi segala ketidaktahuan membuat Aras semakin menaruh harap kepada Soren. Berharap anak itu akan menjelaskannya sendiri tanpa Aras bertanya.

Bibirnya kelu, ingin bertanya tetapi sesuatu tanpa wujud membentanginya dengan rasa takut luar biasa. Entah rasa takut bertanya atau takut jawabannya tak selaras dengan ekspektasi, Aras berusaha tak terlalu memikirkan terlalu dalam.

Maka ia hanya diam membisu, memandang Soren yang dengan telaten menyendok makanannya sesendok demi sendok ke mulut. Terkadang dia akan mengeluarkan pujian, "Ah makanan bunda memang selalu enak, Ren makan setiap hari di sini aja boleh enggak bunda?"

BundaーIbu Aras, membalas pujian dengan tersenyum. Aras tidak bisa melihat senyum itu dan hanya memandangi punggung ramping Ibunya yang berada di ujung meja makan berbentuk persegi panjang. Tangannya sibuk menata makanan ringan untuk dipindahkan ke dalam toples. Dia menoleh, "Semuanya boleh buat Ren. Makan yang banyak, ya."

Sementara Aras, sibuk dengan pikirannya sendiri. Melamun.

Apa yang Aras tidak ketahuiーtentang Soren?

Apa ia tak cukup mengenal Soren?

Apa ada sesuatu yang tak boleh Aras ketahui tentang Soren?

Kenapa Soren tidak bercerita jika dia kenal dengan kakak kelasnya?

Apakah..

Soren yang selama ini dipenuhi hal manis adalah anak nakal?

Pertanyaan ambigu itu akan terus menghantui bagai entitas tanpa wujud yang secara lancang datang dan pergi dalam benaknya, jika sang ibu tidak bertanya. "Masnya enggak makan juga? Jangan dianggurin makanannya sayang."

Soren melihat itu dan mulai bertanya. "Mas capek ya? Akhir-akhir ini mas selalu diam aja."

Tidak terlalu baik jika membalasnya dengan jujur. Maka Aras hanya bisa melempar pertanyaan tak jelas. "Ya memang harusnya ngapain?"

Ketus. Aras sama sekali tidak sedang melontarkan sebuah komedi, tetapi mata itu justru menatapnya dengan binar antusias, "Main sama aku."

Mengabaikannya, Aras mulai melirik makanannya, menyuap satu sendok, lalu melirik ke arah Soren. Melakukan hal menyuap-melirik secara berulang, dan mungkin akan seperti itu sampai makanan habis.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Sep 24, 2023 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

monster kunyit • soobjunTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon