"Waahh..." Tanpa sadar Alice berdecak kagum. Selama di istana, ia hanya mengunjungi Istana Rosem dan melihat istana ini dari luar. Ternyata apa yang ada di dalamnya sangat bagus—meski Istana Rosem juga bagus.

Mereka pun menaiki tangga untuk berjalan ke ruangan pribadi Yang Mulia. Alice sangat gugup. Setelah dayang yang di luar memanggil Yang Mulia, ia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya.

"Saya ingin melaporkan kalau Putri ingin memakai gaun putih, lalu malamnya beliau memakai gaun biru."

"Baik, keluarlah."

Alice mendengar suara maskulin itu, tapi ia sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Nyalinya tiba-tiba menciut. Sekilas ia mengingat leher Lord Elwin yang digantung. Ia takut membuat kesalahan dan berakhir ditebas.

"Kalau begitu saya permisi Yang Mulia." Emma membungkuk begitu juga dengan Alice.

Ia berniat untuk keluar, tapi suara maskulin itu malah memanggilnya. "Kau yang bernama Alice?"

Alice menelan ludah. "I—iya Yang Mulia."

"Masuklah, ada yang ingin aku tanyakan." Nada suaranya benar-benar tidak ramah—berbeda sekali dengan cara bicara Lady Rozeanne.

"Baik." Alice langsung masuk lebih jauh ke dalam ruangan, sedangkan Emma menunggu di luar.

"Angkat wajahmu."

Alice patuh, ia mengangkat wajahnya dan menemukan sosok yang benar-benar terlihat tidak nyata. Rambutnya menyerupai emas dan kulitnya bercahaya. Alice sampai menoleh ke sekitarnya untuk memastikan kalau orang ini benar-benar Yang Mulia Putra Mahkota.

"Alin, kau keluarlah. Aku ingin berbicara empat mata dengannya." Seorang perempuan cantik yang dipanggil Alin itu tersenyum sekilas ke arah Alice, lalu segera keluar. Mungkin orang itu adalah dayang pribadi Yang Mulia.

"Kau bisa duduk."

Alice semakin gugup. Ia mengucapkan terima kasih, lalu duduk di hadapan calon Raja Narenth yang kelima. Wajahnya benar-benar membuat Alice tidak percaya. Apakah ras seperti itu sungguh ada? Rasanya seperti bertemu dengan makhluk dari dunia lain. Wajahnya tidak manusiawi.

"Aku dengar kau yang menjadi pelayan Julian saat di Vien."

"Itu benar Yang Mulia."

Alice melihat Jeffrey menyesap alkohol yang ada di atas meja. "Ceritakan lebih jauh tentang dia." Mata itu memandangnya tajam.

"Hemm..." Alice gugup, apakah boleh ia menceritakan tentang penyiksaan yang dialami Lady Rozeanne? Tapi, bekas luka itu sudah hilang, apakah Yang Mulia akan percaya?

'Tapi Alice... itukan urusan pribadi Putri. Kau tidak bisa menceritakannya tanpa persetujuan.'

"Kenapa? Kau tidak ingin membuka mulut?" Jeffrey menatapnya angkuh, "Apa perlu aku potong lidahmu?"

Alice merasakan aliran darahnya terhenti. Wajahnya benar-benar pias. "Lady Rozeanne orang yang rajin. Beliau menyukai obat-obatan dan pandai memasak. Beliau menyukai teh melati, lalu tidak suka mengenakan korslet. Karena kita sering di hutan, beliau kadang tidak memakai gaun formal dan memakai pakaian yang lebih nyaman. Hem... warna kesukaan Lady warna abu. Beliau suka sesuatu yang sederhana."

Alice pun menatap Yang Mulia. Sepertinya beliau kurang puas. "Ada yang ingin Anda tanyakan lagi Yang Mulia?"

"Tunangannya. Setelah kemari, apa mereka putus?"

"Huh?" Alis Alice tertaut. "Beliau tidak memiliki tunangan."

Sudut bibir pria itu menaik, "Aku bisa membunuhmu kalau kau berbohong."

Jeffrey, Don't Throw Me Away [END]Where stories live. Discover now