1. Siapa?

4.4K 364 12
                                    

"MAMA! Kaos kaki aku manaaa?"

Jemma yang sedang mengoles selai di permukaan roti menggulirkan bola mata. "Di rak sepatu, Aji."

"MAAAMMM NGGAK ADA!"

"DI RAK SEPATU DEPAN AJI! MAKANYA NYARI TUH PAKE MATA BUKAN MULUT!"

Aji-sang anak yang sekarang berusia tiga belas tahun nyengir, buru-buru ke rak sepatu yang dimaksud sebelum ibunya kembali mengamuk.

"Aku mau bekal dong, ma," katanya setelah duduk manis di kursi kabinet, menatap Jemma yang masih menyiapkan sarapan pagi.

"Sandwich aja apa mau yang berat?"

"Berat kali ya? Ada latihan basket soalnya."

Kepala Jemma terangguk mengerti, "Nasi putih aja? Lauknya sate sisa semalam sama nanti mama kasih sayur."

"Oke."

Keduanya makan dalam diam, hanya ada bunyi minyak yang berdesis juga alunan musik dari ponsel milik sang anak.

"Ma,"

"Apa?"

Aji menarik napas panjang, menatap punggung ibunya yang tengah mengaduk sayur di depan sana. Menimbang dalam hati untuk mengatakan apa yang mengganjal di pikirannya atau tidak.

"Kenapa?" Jemma berbalik, menatap putra semata wayangnya dengan lembut.

Tiga belas tahun hidup bersama, ditambah sembilan bulan dalam kandungan, Jemma jelas tahu jika ada hal yang sedang menghantui pikiran putranya itu.

"Ada apa?"

"Nggak kok. Mama bisa antar aku nggak?"

Matanya melirik jam dinding, masih pukul enam lewat lima belas menit. "Bisa. Mau berangkat sekarang?"

Anak itu mengangguk lalu memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas.

"Mama ambil tas dulu bentar, tunggu di mobil aja."

***

Sepanjang yang Aji ingat, mamanya tidak pernah sekalipun mengatakan sesuatu tentang sang ayah. Tidak nama, terlebih rupa. Dia tumbuh sebagai Ajisaka Yezekiel, putra tunggal Jemma Nareswari, pewaris perusahaan IT yang juga pemilik wedding organizer yang sudah punya nama.

Dia hidup sederhara, Jemma tidak pernah mengajarkannya untuk bermewah-mewahan, kendaraan yang dimilikinya pun hanya sepeda gunung berwarna merah-hadiah karena berhasil masuk sekolah favorit jalur prestasi.

Kakek, nenek bahkan Omnya juga tidak pernah menyinggung tentang sang ayah. Hal-hal yang biasa anak lelaki lakukan dengan ayah mereka, Aji jalani bersama sang kakek. Terkadang juga Om Yudhis-kakak ibunya, jika tidak terlalu sibuk mengurus perusahaan. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa ayahnya sudah meninggal dan mama belum sanggup menceritakan kisah itu.

"Gimana?" Eska menyenggol bahunya saat ia berjalan di koridor sekolah.

"Nggak tau, masih belum berani nanya mama."

Temannya itu menarik napas panjang. "Ya susah juga, kamu nggak mungkin pinjam papaku."

Aji ingin menggetok kepalanya kalau saja tidak ingat kalau Eska cucu pemilik yayasan ini.

"Mungkin aku sama kakek lagi atau Om Yudhis, nggak tahulah."

"Coba aja tanya tante, kamu juga pasti penasaran kan."

Aji mengangguk kecil, dia sudah lama memendam rasa penasaran itu namun tidak pernah memiliki secuil keberanian untuk menanyai Jemma.

"Ssstt, princess udah datang tuh."

Pandangan mereka beralih pada mobil yang berhenti di depan gerbang kedua, tempat untuk menurunkan penumpang. Sesosok perempuan keluar dari sana, lengkap dengan senyum yang membuat matanya terlihat segaris.

"Gila, kemarin lexus sekarang audi, dia setajir apa sih?"

Aji hanya mengedikkan bahu. Mobil mamanya cuma Nissan Juke putih biasa, itupun sudah berumur tiga tahun, satu-satunya mobil mewah yang pernah ia naiki adalah BMW punya Om Yudhis ke pesta peresmian butik tante Wina dulu.

"Ke kelas aja yuk."

Keduanya berlalu, tanpa mengetahui jika perempuan yang mereka panggil princess tadi menatap ke arah mereka agak lama.

***

"Om ..."

Yudhis mengangkat kepala dari berkas yang dia baca saat pintu ruangan terbuka, keponakannya berdiri di sana, menggandeng putri keduanya yang baru pulang sekolah.

"Mamanya mana?"

Aji mencubit pipi gembil Keira sebelum menaikkannya ke sofa di sisi ruangan. "Tadi nganterin Rio ke toilet."

"Dijemput Tante Wina?"

"Iya, mama ada meeting di mana gitu."

"Udah makan?"

"Belum, ini mau pesen."

"Pesen aja, nanti Om yang bayarin."

Aji menarik napas panjang, tak jua mengeluarkan ponselnya untuk memesan makanan di aplikasi online, ia justru mendekat ke arah Yudhis, duduk di depan kakak ibunya itu dengan wajah muram.

"Berantem sama mamamu?"

"Enggak."

"Terus apa?" Yudhis menyingkirkan berkasnya, fokus pada Aji yang masih menunduk.

"Om tau nggak papaku kemana?"

Yudhis pias, rasanya ingin meloncat ke lubang hitam saja saat Aji menanyakan pertanyaan itu. Bukan karena tidak bisa menjawab, melainkan ia takut melukai hati keponakannya ini.

"Udah tanya mama?"

"Belum ... takut."

Yudhis menarik napas panjang, menatap dalam manik Aji yang bergetar. "Tumben nanyain papa, kenapa?"

"Sekolahku ada event buat rayain hari ayah, lomba-lombanya nanti bareng ayah. Kalau nggak ada ayah, bisa bawa kakak cowok atau Om atau siapa gitu."

"Yaudah, nanti sama Om aja."

Aji menghela napas lelah. "Bukan itu poinnya, Om."

"Om nggak bisa jawab, Aji. Yang bisa jawab itu cuma mamamu."

Percakapan mereka terputus saat Wina masuk bersama Rio. Anak itu sudah berlari ke arah Yudhis dan memeluk leher ayahnya erat, diikuti kecupan di puncak kepala. Ah, Aji meremas celana sekolahnya, ia iri. Sangat iri.

***

Jemma meletakkan ponselnya di atas meja setelah membaca pesan dari Yudhis-kakaknya, hela napas panjang dihembuskan, berharap semua beban mental yang mengganjal ikut keluar.

Pertanyaan tentang siapa ayah Aji adalah hal yang paling ia hindari. Perlahan, tangannya terangkat, mengelus bekas jahitan yang masih membekas sekalipun sudah tiga belas tahun berlalu, bukti bahwa Aji benar-benar lahir dari rahimnya sendiri.

"Maaf ya, sayang," lirihnya, menatap bingkai foto saat Aji berulang tahun yang kesepuluh, "Maaf karena mama nggak becus jadi ibu."

"Nana?" kepala Echa menyembul di pintu saat Jemma sedang bermonolog, mengingat masa-masa kelam yang pernah terjadi di masa lalu.

"Kenapa, Cha?"

"Aku udah mau pulang nih. Masih pengen tinggal?"

Jemma mengangguk tanpa menatap Echa, tetap melabuhkan kepala di atas meja.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Nope, don't worry, balik aja. Dijemput Mas Mark?"

"Iya. Yaudah deh, aku balik duluan. Jangan lupa kunci pintu."

"Hmm."

Echa berlalu, meninggalkan Jemma dengan setumpuk pertanyaan yang akhirnya membuat ia mengambil keputusan tanpa berpikir jernih.

***

one of my favorite story. pengen baca ulang lagi :')))

angeWhere stories live. Discover now