"Waktunya sudah tiba, mereka harus mengambil keputusan secepatnya. Aku ingin semua ini segera berakhir, walau ada yang harus berkorban."

Jisoo tercekat, matanya melebar kaget mendengar instruksi dari Johnny. Cepat atau lambat takdir Jaehyun dan Rosé akan berubah.

***

"Ryujin, kenapa kamu robek-robek kertas?"

Refleks remaja itu menyembunyikan sebuah buku berjilid kulit yang terlihat sudah sangat tua. Kertas-kertas yang berserakan di lantai pun terlihat menguning, entah bentuknya seperti itu atau memang kertas itu sudah berusia cukup lama.

"Jaem, kalo mau masuk kamar itu ketuk dulu!" marahnya sambil berdiri. Ryujin mendekati Jaemin dan mendorong pemuda itu keluar dari kamarnya.

Remaja Jung itu mengangkat alis heran. Aksi Ryujin yang seolah menyembunyikan sesuatu itu membuatnya penasaran. Dia memiliki tenaga yang lebih kuat, sehingga dapat membalikkan dorongan pada Ryujin sampai sang adik hampir terjengkang. "Jaem, keluar!" bentak Ryujin sambil berusaha mendorong Jaemin lagi.

Suara bentakan Ryujin yang cukup kencang mengundang kehadiran Jeno dari ruang depan. Napasnya yang terengah-engah menjadi saksi bahwa dia sedang panik.

"Lo nyembunyiin apa, sih?" Jaemin menyingkirkan Ryujin dari hadapannya sampai gadis itu menabrak bufet yang ada di dekat pintu. Ryujin mengaduh kesakitan.

"JAEMIN!" Dengan cepat Jeno mendorong Jaemin sampai sang kembaran terjatuh ke kasur. Matanya menyorotkan kemarahan dengan rahangnya yang mengeras. Otot-otot lengan sampai jari Jeno bermunculan, dia siap menghajar Jaemin lagi.

"Abang, jangan!" Ryujin memeluk Jeno dari belakang saat sang kakak mengangkat tangan untuk menonjok Jaemin. Menggelengkan kepala sambil menangis. Dia tak mengira akan berakhir menegangkan seperti ini.

Di apartemen sedang tidak ada Rosé, sehingga suara-suara yang ditimbulkan si kembar tidak membuat sang mama khawatir.

Isak tangis Ryujin mampu menghentikan kemarahan Jeno. Perlahan dia menurunkan tangannya dengan napas memburu kasar. Jeno membuang mukanya. "Gue gak suka lo main kasar," ujarnya dingin, kemudian berbalik ke arah Ryujin dan membalas pelukannya. "Jangan nangis!" Jeno membelai rambut Ryujin. Dia begitu tak terima melihat Ryujin didorong keras, Jeno tidak akan membiarkan adiknya terluka meskipun harus menjadi musuh Jaemin sekalipun.

Jaemin hanya berdecih. Mengusap satu lengannya yang terkilir karena tadi sempat menahan bobot tubuhnya sebelum ambruk ke kasur. Dia menatap kedua kembarannya dengan kecewa. Terlebih sikap Jeno yang pilih kasih pada Ryujin, sungguh memuakkan.

Pelan-pelan tanpa peduli pada Jeno yang sedang menenangkan Ryujin itu, Jaemin bergerak untuk duduk. Dia merasakan ngilu pada tangannya. Tapi bukan itu yang menyakitkan, Jaemin tidak peduli pada luka fisik yang dialaminya. Itu tidak akan membuatnya menangis, hanya saja kali ini Jaemin ingin menangis. Bertepatan dengan matanya yang menangkap sobekan kertas di lantai.

***

Seorang pemuda berdiri menyender pada mobil sambil memainkan gawainya. Membunuh rasa bosan karena telah menunggu selama tiga puluh menit di sana.

Memang salahnya datang lebih awal dari perjanjiannya dengan Rosé. Gadis itu harus menyelesaikan jam kuliahnya terlebih dahulu.

"OMG! Kak Taeyong," Lisa menangkup kedua pipinya. Menikmati visual unrealistic milik Lee Taeyong. Postur tegap dengan dada bidangnya memang tipe ideal Lisa sendiri. Gadis itu menyikut lengan Rosé sebelum berceloteh, "Lo gak ada niatan pdkt-in gue sama beliau apa, Rosé?"

49 Hari ke Masa LaluWhere stories live. Discover now