Planning

767 109 5
                                    

Seorang pemuda menggeliat di kasur besar didominasi warna putih tulang. Pemuda lain dengan kulit lebih gelap, memeluk pinggang ramping pemuda yang berkulit putih dengan posesif.

Badan mereka lengket oleh keringat, kaki mereka saling mengunci, bersama paha yang dipenuhi cairan yang sudah mengering.

Pria bermata lentik, kulit putih, senyum manis. Mengecup pipi pemuda yang tertidur demikian pulasnya. Rambut hitamnya sedikit berminyak, menggumpal menutupi dahinya.

Pemuda manis itu menjumput helaian rambut itu dan merapikannya ke belakang. Ia tersenyum setelah malam panas dan panjang yang mereka lewati bersama.

Pemuda itu, turun dari ranjang membawa sesuatu di tangan kirinya. Sebuah benda lonjong, dengan pegangan yang dilengkapi switch, berwarna ungu tua.

Ia berjalan ke kamar mandi dengan kaki sedikit mengangkang. Tangan kanannya memegang pinggang yang sepertinya sudah dipatahkan secara brutal semalam.

Ia berdiri di depan wastafel, menyunggingkan senyum misterius yang jarang ia tampakkan di depan banyak orang.

Ia mengusap bagian belakang tubuhnya yang benar-benar sesak oleh cairan. Ia beralih menatap benda tak bersalah yang menjadi pelaku utama dimulainya perang semalam.

Pemuda itu mencuci benda tak bermatabat warna ungu di wastafel, sebelum mencuci miliknya yang kotor.

Air yang mengucur dari kran membuat sesuatu yang melekat seperti cairan kental yang mengering, di sekitar benda itu larut oleh air.

Pemuda itu tersenyum kembali, dalam hati kecilnya berkata.

"Terima kasih Tuan Zhan, kau benar-benar tahu apa yang aku dan kekasihku butuhkan. Lain kali aku akan mengundangmu ke pesta yang lebih liar."

.
.

Wang Yibo tidak mengenal apa itu hari minggu. Di saat setiap orang memiliki jadwal liburan, Yibo memiliki jadwal liputan.

Berita besar menunggunya, itu yang ia cari setiap hari. Atau mungkin Yibo sendiri yang menciptakannya hari ini.

Yibo beberapa kali mengumpat sambil mondar-mandir di dalam ruangannya. Puntung rokok berserakan di lantai, terinjak-injak oleh sepatu kets tebal dan pecah isinya. Membuat lantai keramik itu penuh dengan ampas rokok yang sudah terbakar.

Yibo kembali memencet sebuah nomor di ponselnya. Menyelipkan rokok yang kelima ke belahan bibirnya, sambil menunggu panggilan telepon tersambung.

Sudah 3 kali Yibo mencoba menghubungi nomor yang sama. Tapi tak ada sahutan di seberang. Yibo hampir kehilangan kesabaran, jempolnya sudah bergerak untuk menekan tombol merah, saat terdengar suara berat yang begitu dalam menyambutnya.

"Yibo ... ada apa? Ini masih pagi ...."

"Sialan kau, ini sudah jam berapa. Apa yang kau lakukan semalaman. Sampai lupa jadwalmu hari ini."

Yibo mencercanya, dengan suara cukup lantang. Membuat orang yang mendengarnya terpaksa memutuskan sambungan. Yibo tak mau menyerah, ia kembali memencet angka yang sama. Panggilan tersambung, Yibo dengan cepat kembali berteriak. Tapi lawan bicaranya sudah mendahului.

"Ish kau ini, acaranya masih jam 9. Biarkan aku istirahat sebentar."

"Apa?" Yibo berteriak lagi.

"Salahkan saja calon senator incaranmu itu, yang memberikan sex toy untuk kekasihku." Lawan bicara Yibo di ponsel berteriak tak kalah nyaring.

Terdengar helaan napas di sana, Yibo pun melakukan hal yang sama. Mengembuskan napas yang cukup kasar.

"Cih, betapa beruntungnya hidupmu!" Setelah berkata demikian, Yibo memutus sambungan telepon. Ia duduk di kusinya yang bisa berputar. Mengetuk-ngetuk meja dengan jari. Satu tangan yang lain, masih memegang batang rokok yang tinggal separuh.

Trap The SenatorWhere stories live. Discover now