Behind The Clown

56 25 27
                                    


Aku duduk di bawah pohon beringin seperti biasa. Menunggu kehadirannya yang selalu datang tepat waktu. Namun, kali ini ia telat. Sudah hampir sepuluh menit berlalu, tetapi ia belum muncul.

Aku mengingat kembali, apakah hari ini jadwalnya? Aku tidak mungkin salah ingat. Aku sudah hafal betul hari apa saja dan pukul berapa ia datang. Aku tidak akan pernah lupa. Oh, mungkin ia terjebak macet. Pukul tujuh pagi memang rawan macet. Hari libur, jalanan akan makin bertambah padat dengan kendaraan-kendaraan yang hendak berekreasi.

Namun, tidak lama kemudian senyumku mengembang, saat melihatnya berjalan sambil melambai kepada anak-anak kecil di sekitar taman. Aku segera memakai topeng kepala kucing. Bersembunyi di balik kostum Kucing Abu.

Aku bergabung dengannya yang memakai kostum kelinci putih. Bagian telinganya kotor, begitu pula bagian pantat yang bernoda kecokelatan bekas tanah. Ia melambai kepadaku sambil melompat kecil, lalu diikuti oleh anak-anak di sekelilingnya. Mereka tampak gembira menyambutku datang. Sorak sorainya terdengar begitu riang.

"Kamu telat," ucapku dengan sekuat tenaga agar suaraku terdengar. Kostum badut kucing ini amat berat, selain itu topengnya membuatku kesulitan bernapas. Sebentar saja keringat sudah membanjiri. Panas.

"Macet!" jawabnya tepat seperti dugaanku.

Sudah hampir satu bulan aku bertemu dengannya. Di taman ini, saat pertama kalinya aku mencoba pekerjaan menjadi seorang badut kucing, aku bertemu dengannya. Jujur saja, aku banyak belajar darinya. Bagaimana menjadi seorang badut yang menyenangkan.

 Tetapi, selama itu tidak sekalipun aku pernah melepas topeng ini. Begitu pula dengannya yang tetap kukuh memakai kostum kelinci putih. Seperti tadi, kami mengobrol dengan saling berteriak. Berbicara sekencang mungkin agar ia mendengar suaraku.

Tugas menjadi badut kucing hanya beberapa jam di taman kota. Setelahnya, aku kembali menjadi perempuan biasa. Perempuan pada umumnya yang tidak memiliki kelebihan apa pun. Kadang, aku ingin terus bersembunyi di balik topeng badut ini. Karena aku bisa berekspresi sebebas yang kumau.

Saatnya pergi. Aku berdiri sejenak untuk mengamati Badut Kelinci Putih. Ia berjalan menjauh ke seberang taman. Tugasnya pun telah selesai. Entah, kehidupan seperti apa yang akan ia jalani setelah terbebas dari kostum lucu itu.

Apa ia sama denganku?

Seseorang yang bersembunyi di balik topeng, agar bisa bebas menjadi diri sendiri.

Ah, rasanya tidak mungkin.

Bisa saja, ia seorang pria hebat yang iseng membadut—memakai kostum badut demi kesenangan pribadi. Bisa saja, kan?

Entahlah. Tetapi, aku tahu. Kehidupanku dengannya sangat berbeda.

Aku pun memutar arah. Berteduh di bawah pohon beringin, aku melepas topeng kepala kucing abu. Masih pukul sepuluh pagi, tetapi udaranya begitu pengap. Silir angin langsung menerpa. Sejuk rasanya. Tanpa sadar aku terpejam demi menikmati embusan angin yang meniup keringat di leher.

"Hai!" sapa seseorang.

Aku membuka mata dan mendapati seorang pria berdiri di hadapanku. Alisku berkerut menatapnya. Siapa pria itu?

Ia mengangkat sebelah tangan yang menenteng tas besar. Ada kepala kelinci putih tersembul dari celah ritsleting. Mulutku menganga memandangnya.

"Sebenarnya, sudah lama aku ingin berkenalan denganmu," ucapnya dengan senyum tipis sambil mengusap hidung. Kaus merahnya basah oleh keringat.

Lagi-lagi mulutku menganga saking terkejut.

"Souljana. Panggil saja Soul atau Jana atau Badut Kelinci, mungkin." Ia mengangsurkan tangan seraya tersenyum canggung.

Aku membalas uluran tangannya. "Aruhia ... Ruhi atau Aru," jawabku gugup.

Aku tidak menyangka ia akan menghampiriku. Tiba-tiba saja kepalaku kosong. Tidak tahu harus berkata apa.

"Hm, kamu sudah sarapan?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk. Rupanya, ia pun gugup.

"Belum."

"Mau sarapan lontong kari? Atau kupat tahu, mungkin? Kamu mau makan apa ... Ruhi?"

Aku berpikir sejenak, lalu memilih lontong kari. Ia pun mengangguk menyetujui. Lekas-lekas aku melepas kostum kucing abu, melipat, lalu memasukkannya ke tas besar. Hampir sama besar dengan milik Soul.

"Lontong kari Pak Lamto enaknya bukan main. Kuahnya gurih banget," ujarnya antusias.

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Ah, rasanya kuah santan itu sudah tercecap di ujung lidah. Lalu, dua porsi lontong kari pun tersaji setelah menunggu sepuluh menit. Antreannya mengular sampai ke pembatas jalan.

"Kamu kuliah atau kerja ... Ruhi?" tanyanya. Ada jeda sebelum ia mengucapkan namaku dengan canggung.

"Kerja ... sambil kuliah. Kalau kamu, Soul?" Sama sepertinya, aku canggung menyebut namanya.

Soul. Jiwa.

Namaku juga berarti sama.

Ruhi. Jiwa. Diambil dari bahasa Sanskerta.

“Kuliah ... sambil kerja,” ucapnya membalikkan jawabanku.

Aku terkikik mendengarnya. Obrolan pun berlanjut. Dari menanyakan kegiatan sehari-hari sampai makanan kesukaan. Bertanya indekos murah meriah sampai nomor ponsel.

“Kalau nggak mau kasih, nggak apa-apa, kok.”

Lagi-lagi aku tersenyum melihatnya gugup. Tidak mau membuatnya kecewa, aku pun menyebut deretan angka.

“Sebentar. Berapa tadi?” Buru-buru ia mengeluarkan ponsel, lalu mengetik cepat nomor yang kusebutkan.

Ia memperlihatkan layar ponselnya, tertera nama Ruhi si Kucing Abu sebagai nama kontakku. Ponselku bergetar, ada telepon dari nomor tidak dikenal.

“Punyaku. Save, ya.”

Aku mengangguk, lalu menyimpan nomor itu dengan nama Soul si Kelinci Putih. Ia pun tertawa saat kuperlihatkan namaku untuknya.

Entah, takdir seperti apa yang akan kami jalani nanti. Aku yakin, setiap pertemuan pasti mempunyai arti.

(Isi 785 kata)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 29, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Behind The Clown (Event RAWS September)Where stories live. Discover now