"Kau yakin membuang-buang sisa waktu mu hanya untuk melakukan hal yang tak berguna seperti itu?"
"MMMMFFFHHH!!"
"6... 5... 4..."
"Hayolho, kau hampir kehabisan waktu"
"MMHHH!!"
"3... 2..."
"MMMMMMFFFHH!!!!"
"1...
... waktu habis!"
Sanzu berdalih riang lantas menelan pil setelahnya. Ia bergerak menodongkan kembali pistol digenggaman pada sandera dihadapan.
"Karena kau tidak menjawab, biar aku yang memilihkan nereka untukmu" tuturnya yang kemudian merendahkan tatap.
"Bagaimana jika kau menjawab pertanyaan ku dengan jujur dan mati ditempat setelahnya?"
"..."
"Ku anggap diam mu itu sebagai jawaban 'iya"
Sanzu tersenyum manis. Tampak begitu bersemangat ingin memulai sesi tanya jawab ini.
Lihatlah, mata bening nya yang seakan sanggup mengeluarkan cahaya kelap-kelip.
"Baiklah! Pertanyaanku adalah, pada siapa kau menjual gudang persenjataan cabang milik bonten?"
"..."
Tak ada jawaban. Hanya tatapan muak yang diberikan sang sanderaan.
"Ku ulangi sekali lagi. Padasiapakaumenjualnya, huh?"
Kini tatapan itu semakin menantang. Ia tak lagi berteriak seperti sebelum-sebelumnya. Dan enggan pula membuka mulut sebab tau tak ada guna. Karena pada akhirnya nanti, dirinya akan kehilangan nyawa juga.
"Tak ingin menjawab, hm?"
"..."
Sanzu menyeringai.
"Kau begitu naif hingga berani memilih untuk diam"
DOR!
Tembakan dilepaskan. Mencabut langsung nyawa insan malang di sana.
"Pengkhianat memang seharusnya dihukum!"
DOR!
DOR!
Tawa mengerikan menggelegar ke setiap inchi sudut ruangan usang ini. Terdengar begitu tak manusiawi. Pula mengundang bulu roma tuk menegak tanpa permisi. Hingga sanggup menakuti siapa saja orang waras yang mendengarnya saat ini.
Sanzu terus-terusan melepaskan tembakan pada raga tak bernyawa dihadapannya. Tak ada belas kasihan atau raut penyesalan yang membingkai paras rupawannya. Terlihat sudah sangat pantas bila disandingi dengan iblis atau pembunuh berdarah dingin yang tak memiliki hati nurani.
Sangat kejam. Sangat brutal.
Tak ada ampunan bagi para pengkhianat menurut Sanzu. Lihatlah sekarang. Bahkan saat wajah sang sandera telah hancur pun ia masih begitu enggan untuk menghentikan runtutan tembakan.
Hingga sedetik kemudian, getaran ponsel mengacaukan aktivitas nya.
Drrtt.. Drrtt..
Sanzu berdecak. Meski enggan, ia menekan icon jawab tanpa menilik nama pemanggilnya terlebih dahulu.
"Kau! Orang sialan mana yang berani mengganggu kesenanganku, hah?!"
"Chiyo... kaumembentakku...?"
Vokal halus disebrang sana sukses membuat Haruchiyo melebarkan pupilnya seketika.
"[name]!"
"Kausedangmarahpadaku, Chiyo?"
"Tidak! Bukan begitu! Maaf, aku tidak bermaksud membentak mu..."
Helaan nafas ia buang melalui celah labium. Lantas setelahnya mengantongi kembali pistol digenggaman.