Over the Rainbow

129 5 0
                                    


Kubuka lagi handphoneku, menunggu sms balasan darinya. Sudah tiga jam lamanya sms terakhirku kukirimkan pada nomer handphone suamiku, tapi hingga kini belum satupun dia jawab. Hatiku semakin gundah dan tak pasti, di usia perkawinan kami yang baru seumur jagung, kami telah dilanda permasalahan yang membuat hatiku menangis darah. Bukan karena dia berkhianat atau setidaknya itulah yang aku tahu.

Memang keadaan ekonomi keluarga kami tidak bisa dibilang baik, suamiku bekerja keras untuk mempertahankan tokonya, bekerja siang – malam, tiba di rumah hingga tengah malam. Awalnya aku tidak terbiasa dengan cara kerjanya yang seperti ini, kami kerap kali bertengkar masalah ini namun kemudian karena lelah bersilat lidah hampir setiap hari, akupun mengalah, asalkan dia benar-benar serius bekerja, yang tentunya untuk kami sekeluarga.

Kami belum dikarunia keturunan, aku belum tertarik untuk itu. Kehidupan kami yang masih morat-marit, yang bahkan tak sanggup memenuhi kebutuhan bulanan apalagi menghidupi seorang anak manusia yang tentunya membutuhkan biaya dan tanggung jawab yang tak sedikit. Karena seburuk itulah keadaan kami. Aku berpikir, seandainya suatu saat nanti hubungan kami tiba di titik terendah, setidaknya... aku tak perlu memikirkan seorang anak yang harus kurawat bila kami berpisah nanti.

Memikirkan kami akan berpisah teramat sangat menyedihkan untukku. Apapun alasan kami menikah dulu dan apa yang telah kami alami hingga saat ini, rasa itu telah terkikis hingga yang tersisa hanyalah tanggung jawab yang mulai menipis. Hatiku tidak sanggup dilanda ombak badai yang sebenarnya datang dari ke tidak perdulian dia seorang, dari kebohongan-kebohongannya yang telah membuatku hilang kepercayaan padanya. Dari ketidak jujurannya yang berbuah kemarahanku yang dianggapnya angin lalu. Apa yang kukatakan, apa yang kuperintahkan tidak pernah bertahan lebih dari dua hari. Semua masuk ke dalam telinga kanannya, singgah di kepalanya dan keluar lagi melalui telinga kirinya. Aku merasa diriku hanya dianggap boneka olehnya, tidak dihargai sebagai manusia, sebagai seorang istri yang memerlukan penghormatan, teladan dan dorongan dari dirinya selaku kepala keluarga kami.

Aku berbaring lemah di atas ranjang yang dingin, sudah pukul satu dini hari dan air mataku turun kian deras tak bisa kutahan. Kuingat-ingat lagi kenangan-kenangan manis kami yang hanya membuatku semakin terisak, mataku sembab, hidungku bengkak, aku depresi, aku gundah dengan hubungan kami. Haruskah kuputuskan pernikahan ini demi kebaikanku? Tapi... statusku di masyarakat akan berubah dan banyak orang akan bergunjing padaku. Aku tak ingin hal itu terjadi, sungguh neraka bila hal itu harus kulalui juga.

Hingga mataku terpejam tak ada satupun balasan darinya lagi. Sebelumnya dia hanya mengirim sebuah pesan dengan jawaban yang tak bisa memuaskanku. "Tidak tahu," begitu tulisnya.

Bila dia seorang laki-laki sejati, seharusnya bukan itu jawaban yang dia berikan padaku. Seharusnya dia tidak lari dari tanggung jawabnya, seharusnya pula dia berani menanggung semua akibat dari setiap perbuatannya dan bukannya bersembunyi dengan alasan-alasan yang membuat orang lain muak. Dia sungguh tebal muka, sungguh tak punya rasa malu dan rasa bersalah. Aku menanyakan diriku bagaimana mungkin aku pernah merasa 'cinta' pada laki-laki seperti ini dulu.

Aku terbangun dengan mata bengkak dan merah, hidungku juga tak kalah mengenaskannya saat kulihat wajahku di cermin. Dengan limbung aku membersihkan tubuhku di dalam kamar mandi, menyeka sisa-sisa air mata bekas semalam, menyegarkan tubuhku dengan harapan hariku akan lebih baik dari hari kemarin. Aku berdoa agar hidupku dimudahkan, bila memang benar doa itu berguna.

Dengan bedak tipis dan riasan secukupnya, aku mencoba menyembunyikan samar-samar bekas tangisanku. Menatap miris pada bayanganku di cermin, wajah wanita dewasa berusia dua puluh delapan tahun yang seharusnya ceria dan gembira dengan sebuah rumah tangga yang dinanti-nanti oleh orang banyak. Disini justru aku memandang sedih pada diriku, berharap banyak pada sebuah hubungan yang bernama pernikahan, namun sekarang... rasanya aku lebih memilih untuk menjadi seorang wanita karir singel, mandiri dan tentunya percaya diri karena tak ada satu laki-lakipun yang akan menyakitiku.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Sep 07, 2021 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

SHORT STORY - ONE SHOOT - CERITA PENDEKWo Geschichten leben. Entdecke jetzt