14. Kamar Nomor 50

15 1 0
                                    

Timing Up! Don't forget vote and comment guysss💙👋

**

Kami semua berada di apartemen nomor 56, suasana di dalam tidak rusak, hanya saja beberapa benda di dalamnya sudah kami angsur keluar dan menjadikan alat pem blokade-an.

Aku dan kak Julie bergerak ke arah dapur, masih ada kompor di dapur itu, bisa kami gunakan untuk memasak. Aku memasak mie instan yang tersedia di lemari penyimpanan pemilik apartemen ini.

Saat selesai, aku dan kak Julie menghidangkan semuanya di atas meja.

"Wahhh, rasanya sangat enak makan hangat-hangat di tengah hujan seperti ini." Celetuk Abil tak sabar, mereka semua sudah duduk di meja makan, aku hanya tersenyum geli lalu ikut duduk di samping kak Julie.

Suara hujan terdengar jelas dan membuat suasana dingin perlahan masuk memasuki ruangan kami.

Kami berlima makan mie instan dan beberapa junk food yang tersisa.

"Bagaimana langkah selanjutnya? Kita hanya berdiam sambil menunggu helikopter?"tanya Leo di sela-sela kunyahannya. Kami semua menatapnya.  Tampak berpikir dan siapa yang akan merespon lebih dulu.

"Tidak ada yang bisa membawa kita dari sini melalui jalur darat. Satu-satunya cara, yah kita hanya bisa ditolong melalui jalur udara. Dan tidak ada yang sering melewati apartemen ini selain helikopter itu," ucap Ray memaparkan isi pikirannya.

Benar sekali, tidak mungkin kami lolos melalui jalur darat. Jika itu ada, pasti sudah heroik sekali. 0% untuk selamat, kecuali akan ada campur tangan Tuhan di dalamnya, bagaimanapun itu jalan yang mengerikan.

"Apa yang mereka lakukan yah? Apa ada yang masih hidup? Apa helikopter itu bergerak ke tempat pengungsian orang yang masih hidup?"tanya Abil. Berhasil membuat lamunanku berhenti, aku menatap wajah mereka semua.

Aku tak berbicara, tak tahu harus berkata apa. Semuanya tampak mengerikan dan membingungkan. That's true.

"Zombie-zombie itu pasti akan masuk ke sini. Cepat atau lambat, itu hal yang pasti." Ucap kak Julie serius, mendengar itu, tangan kananku mencengkram sendok erat. Menelan makananku yang terasa pahit, tidak bisakah kami merasa bebas seperti sekarang ini?

Dret...

Suara kursi mundur menghentikan pembahasan. Kami semua menatap Abil yang berdiri dari duduknya, mangkuknya sudah kosong, kuahnya sekalipun.

"Aku ingin istirahat, kalian habiskan saja makanan ini." Ucap Abil lalu berjalan pergi meninggalkan kami. Aku menatapnya, meski Abil senang bercanda tapi aku sangat kesulitan melihat perubahan ekspresinya.

"Well, semoga Tuhan menolong kita." Ucap Leo sambil tersenyum masam, aku menatapnya dengan anggukan kecil

"Yupp, semoga saja." Sahutku pelan.

Hari sudah malam, angin di luar berhembus kencang menemani turunnya hujan yang sangat deras. Kami hanya ditemani cahaya senter kecil. Semua listrik padam sejak kemarin, ponselku juga mati total. Bukan hanya aku, tapi kami semua.

Selesai makan mengisi perut yang kosong, kami semua bergegas. Di apartemen ini ada dua kamar, aku dan kak Julie satu kamar, sementara ketiga cowok itu juga sekamar. Kamar kami bersebrangan.

Di kamar, aku merebahkan tubuhku yang rasanya seperti mengalami patah tulang. Baru kali ini aku merasa tulang-tulangku akan terlepas dari tubuhku. Aku sempat berpikir, bisakah tubuhku bertahan dengan tulangku yang terlepas?

Arghh, aku memukul kepalaku yang berpikiran bodoh. Tidak mungkin, jika tulangku terlepas aku sudah mati. Tapi tadi itu hanya metafora belaka.

"Terima kasih Ann." Kak Juli merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku menatapnya. Ia berterima kasih padaku?

TRAPPED ZOMBIE'S (COMPLETED)Where stories live. Discover now